Sunday, 8 August 2021

 

(1 Petrus 1:1-2; 5:10)
Sabtu, 7 Agustus 2021

“Yang menentukan pengharapan bukanlah 
kenyataan hidup, melainkan iman di dalam Allah”
(Renungan Surat 1 Petrus 1:1-2; 5:10­)

Penderitaan menjadi tema hidup banyak orang dalam masa pandemi Covid-19 saat ini. Bagaimana hidup dalam penderitaan dengan sikap hidup yang benar? Belajarlah dari surat 1 Petrus. Bacalah 1 Petrus 1:1-2 dan 5:10.

Petrus menulis surat pengharapan yang penuh dengan sukacita ini untuk memberikan pandangan yang ilahi dan abadi bagi kehidupan di bumi. Petrus memberikan bimbingan praktis kepada mereka yang mulai mengalami penderitaan yang berat di dalam masyarakat yang berdosa. Pokok utama surat Petrus ini adalah “hiduplah dengan penuh pengharapan di dalam Kristus”. Mereka mungkin mengalami penderitaan karena iman mereka, tetapi mereka dapat hidup dengan penuh pengharapan di dalam Kristus. Di mana ada Kristus, di situ ada pengharapan. ­Bagaimana Petrus memulai suratnya?

“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus” (ayat 1a). Nama Petrus (bahasa Aram: Kefas) artinya “batu karang”, nama yang diberikan oleh Yesus (Yohanes 1:42; Matius 16:18). Nama aslinya adalah Simon, seorang nelayan yang meninggalkan segala sesuatu lalu mengikut Yesus, menjadi murid-Nya (Lukas 5:11). Simon menyangkal Yesus (Matius 26:35,75; Markus 14:29,72; Lukas 22:33,61; Yohanes 18:27), tetapi Yesus mengasihi dan mengampuninya. Petrus hidup bagi Yesus Kristus sepanjang hidupnya walaupun harus mengalami penderitaan. Menurut tradisi gereja, Petrus mati sebagai martir di Roma; disalib dengan kepala di bawah. Yesus Kristus-lah kekuatan dan pengharapan Petrus. Kepada siapa Petrus menuliskan suratnya?

“strangers in the world, scattered” (orang-orang asing dalam dunia, tersebar) (ayat 1b, versi NIV). Kata diaspora (penyebaran) pada jaman para Rasul menunjuk kepada orang-orang Yahudi yang hidup di luar Palestina (Yohanes 7:35). “orang-orang pendatang” berasal dari kata Yunani “parepidemoi”  yang menekankan “temporary residence” (tempat tinggal sementara). Kata ini digunakan hanya 3 kali dalam Perjanjian Baru (Ibrani 11:13; 1 Petrus 1:1; 2 Petrus 2:11). Orang-orang Yahudi Kristen ini tersebar di luar Palestina, menunjukkan bahwa mereka sedang mengalami penderitaan dan penganiayaan.

Dalam surat ini Petrus menulis sekurang-kurangnya 15 kali mengenai penderitaan; dan dia memakai kata Yunani yang berbeda-beda untuk mengungkapkan hal ini. Beberapa di antara orang-orang Kristen ini mengalami penderitaan karena mereka hidup saleh serta berbuat baik dan benar (2:19-23; 3:14-18; 4:1-4, 15-19). Sedangkan yang lain dinista karena nama Kristus (4:14) dan dicaci maki oleh orang-orang yang belum diselamatkan (3:9-10). Tetapi, bukan sekedar tema penderitaan, surat Petrus justru berbicara tema kemuliaan (1:7-8,11,21; 2:12; 4:11-16; 5:1,4,10-11). Hidup penuh pengharapan di dalam Kristus yang mengubah penderitaan menjadi kemuliaan (1:6-7; 4:13-14; 5:10) karena kasih karunia-Nya.

“To God’s elect” (kepada orang pilihan Allah) (ayat 2a, versi NIV). Ini merupakan penghiburan bagi mereka. Mereka menderita tetapi sekarang diingatkan, bahwa dari sudut Allah, mereka adalah orang pilihan Allah. Penghiburan ini mulai dengan Allah (Efesus 1:3-4) karena pemilihannya bukan didasarkan atas apa yang mereka kerjakan, bukan pula didasarkan atas apa yang diharapkan Allah dari keadaan atau perbuatan mereka. Pemilihan Allah itu semata-mata didasarkan atas kasih karunia dan kasih-Nya. Mereka tidak dapat menjelaskannya, tetapi mereka dapat bersukacita di dalamnya (Roma 11:33-36).

“sesuai dengan rencana Allah”. Kata “rencana” istilah Yunaninya adalah “prognosin” dan terjemahan hurufiahnya adalah “foreknowledge” (pengetahuan lebih dulu). Dalam Alkitab, “merencanakan” ini berarti “mengasihi seseorang/beberapa orang secara pribadi”. Allah memilih mereka karena Ia telah mengasihi mereka lebih dulu, dan ini menjadi pengharapan kekal bagi mereka. “Berdirilah dengan teguh di dalamnya” (5:12).

“dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus” (ayat 2b). Istilah “dikuduskan" di sini berarti “dipisahkan dari dunia untuk Allah”. Allah memilih untuk menyelamatkan mereka dengan tujuan supaya mereka taat kepada Yesus Kristus. Bahkan ketika mereka sedang mengalami penderitaan pun tidak lepas dari kewajiban untuk taat.

“Dan menerima percikan darahNya” (ay 2b). Ini menunjuk pada pengampunan dosa dan keselamatan yang diterima hanya karena pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Hal ini memberikan penghiburan yang paling kuat; di atas penderitaan yang sedang mereka hadapi saat itu, bahkan kematian pun, ada jaminan hidup kekal dan keselamatan bagi mereka.

Dan Petrus mengakhiri salam kepada mereka yang sedang mengalami penderitaan dengan mengatakan “Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu”. Kata “kasih karunia” dipakai dalam setiap pasal dari surat Petrus ini (1:2,10,13; 2:19,20; 3:7; 4:10; 5:10,12). Apabila mereka bergantung pada kasih karunia Allah, mereka dapat bertahan dalam penderitaan, bahkan dapat mengubah penderitaan itu menjadi kemenangan. Apa pun yang dimulai dengan kasih karunia Allah akan selalu membawa mereka kepada kemuliaan.

“Dan Allah, sumber segala kasih karunia, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya” (5:10). 

Kiranya kebenaran Alkitab ini memberikan penghiburan, kekuatan dan pengharapan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. “Yang menentukan pengharapan bukanlah kenyataan hidup, melainkan iman di dalam Allah”. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd070821)

Thursday, 5 August 2021




Hanya ketika Saudara benar-benar menyerahkan beban berat Saudara 
kepada Allah, maka Saudara akan mengalami kelegaan dan istirahat. 
(Renungan Kitab Mazmur 55)

Saat pandemi Covid-19 ini, apakah Saudara mengalami tekanan jiwa yang sangat berat? Hati Saudara gelisah, takut dan gentar dengan kengerian maut? Saudara ingin lari dan bersembunyi saja? Daud pernah mengalaminya. Bacalah kitab Mazmur 55.

Mazmur 55 adalah puisi pujian, tetapi dinyanyikan dalam keadaan yang tertekan karena teror. Mazmur ini mengemukakan betapa Daud mengalami tekanan jiwa yang sangat berat (mengembara, menangis, cemas, gelisah, ngeri, takut, gentar, merasa seram). Menariknya, ini adalah nyanyian pengajaran. Kebenaran apa yang diajarkannya?

Para Penafsir kitab mengatakan bahwa Mazmur 55 terjadi pada saat tahta Daud digulingkan oleh Absalom, putranya sendiri. Tidak hanya itu, Daud melarikan diri karena dikejar-kejar oleh Absalom yang berniat membunuhnya; dan kelihatannya usaha Absalom akan berhasil. “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku” (ayat 5). Daud menjelaskan ketegangan hatinya, pengalaman hidupnya yang gelap.

Hal yang sama seperti yang dialami Yesus di taman Getsemani, saat yang gelap menjelang penangkapan dan penyaliban diri-Nya.

Perhatikan ayat 2-3. “janganlah bersembunyi terhadap permohonanku!”. Saat itu Daud merasakan ada kehadiran musuh (Absalom dan pasukannya) yang ingin membunuhnya, ada kebengisan yang menginginkan darahnya. Dan seolah-olah Allah tidak peduli. Bagian ini sama seperti Mazmur 13 ketika Daud berkata“berapa lama lagi, ALLAH..” bukan sekedar soal waktu, tetapi seolah-olah Allah diam.

Perhatikan ayat 4-6. “Aku dirundung takut dan gentar”. Ingat siapa Daud sebenarnya? Bukankah dia telah menghabiskan hidup untuk berperang, menghadapi musuh? Bukankah Daud muda berani menghadapi Goliat yang menakutkan semua orang? Tetapi sekarang, Daud takut dan gentar menghadapi Absalom. Absalom digambarkan sangat membenci Daud. Hati Daud kacau dan bergumul berhadapan dengan mereka yang menginginkan kematiannya dan sepertinya Allah diam dan mengijinkannya. Masa yang gelap dalam hidup Daud. Apakah Saudara pernah mengalaminya? Apa yang Saudara lakukan ketika sekeliling tampak kacau, kemanapun pergi melangkah?

Perhatikan ayat 7-12. “Ingin lari dan bersembunyi”. Dalam ketakutannya,  respon Daud yang pertama adalah ingin melarikan diri. Melarikan diri memang bisa menjadi hal yang bijaksana, seperti yang dilakukan Yusuf saat melarikan diri dari rumah Potifar (Kejadian 39:10-13). Namun tidak selalu demikian, terkadang melarikan diri justru hal yang terburuk ketika dilakukan. Realitanya, Daud tidak bisa melarikan diri dari apa yang ada di dalam hati. Apakah Saudara pernah mengalaminya? Sembunyi, pergi ke “ruang gelap” di mana tidak seorangpun yang melihat ketakutan Saudara yang memalukan. Melarikan diri tidak mengubah apa saja, selain tempatnya; penderitannya tidak berubah. Hikmat dan kebijaksanaan sangat diperlukan untuk melangkah dengan benar, dan Daud memintanya kepada Allah (Mazmur 13). Daud melarikan diri dan Absalom mengambil alih kekuasaan, tetapi ini bukan akhir ceritanya.

Perhatikan ayat 13-16. “Kalau musuhku yang mencela aku..., kalau pembenciku..., tetapi engkau orang yang dekat dengan aku...”. Rasa sakit menjadi sangat pribadi. Daud meratapi kehilangan sahabat dekat. Inilah poin penting mengapa Absalom menjadi pusat masalah. Dikhianati sahabat dekat sangatlah menyakitkan. Ingat peristiwa di taman Getsemani, Yesus dikhianati oleh Yudas, murid-Nya sendiri (Matius 26:49-50). Saat itu, Yesus tidak mengatakan kepada Yudas “kau orang yang tidak baik, beraninya kau mengkianati...!”  tetapi berkata “Hai sahabatku...”  Ketika dikhianati sahabat dekatnya, Daud tidak melarikan diri tetapi datang kepada Allah.

Perhatikan ayat 17-22. “Tetapi aku berseru kepada Allah”. Daripada melarikan diri, Daud datang dengan masalahnya kepada Allah supaya diselamatkan. Dia menyatakan imannya kembali kepada Allah walaupun hidupnya sulit. Ketika mengajukan permohonannya, Daud berdoa pagi siang, malam dengan keyakinan bahwa Allah mendengarkan doanya. Lihat kembali mulai dari ayat 1, Daud kecewa ketika Allah tidak menjawab keluhannya, tetapi sekarang dia berbicara dengan sikap dan cara pandang yang berubah. Daud yakin Allah akan menjawabnya walaupun saat itu belum menjawab. Dalam keadaan antara masalah hingga penyelesaian masalah, Daud tetap percaya kepada Allah.

Perhatikan ayat 23-24. “Serahkanlah kuatirmu kepada ALLAH”. Sebelumnya segala sesuatu yang diceritakan adalah cerita tentang orang pertama (saya, I/me/myself), cerita saya, rasa sakit saya. Hal ini bukan supaya orang lain merasa kasihan. Karena sekarang, Daud berhenti dengan kata “saya/I/me/myself” dan mulai berbicara dengan kata “kamu”. Daud ingin orang lain belajar dari pengalaman hidupnya bahwa bebannya terlalu berat dan dia tidak sanggup menanggungnya, Daud tidak cukup kuat tetapi Allah sangat kuat dan Daud menyerahkannya kepada Allah.

Daud mengajarkan supaya tidak menghadapi pergumulan hidup sendirian. Jangan tanggung sendirian tetapi serahkan kepada Allah.

Banyak orang bersedia memperayai Allah tetapi juga ingin menyelesaikan masalah sendiri, tanpa Allah. Hanya ketika Saudara benar-benar menyerahkan beban berat Saudara kepada Allah, maka Saudara akan mengalami kelegaan dan istirahat. Tidak peduli pergumulan apa yang saat ini Saudara alami, tetaplah percaya kepada Allah. Allah itu sangat berharga untuk diberikan kepercayaan, karena Allah bisa dan mengasihi Saudara. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd050821)

Tuesday, 3 August 2021

 


[Injil Yohanes 11:1-44]
Senin, 2 Agustus 2021

“Yesus, Allah yang berinkarnasi, yang telah menyerahkan diri disalib, 
mengerti bahasa tetesan air mata. Dia berkuasa dan bertindak 
mengasihi Saudara; percayalah!”
(Renungan Injil Yohanes 11:1-44)

Banyak orang mengalami penderitaan dan dukacita dalam Pandemi Covid-19 saat ini. Bagaimana tetap memiliki pengharapan dan percaya bahwa Allah hadir di tengah-tengah penderitaan dan dukacita? Renungkan kisah Yesus menolong orang-orang yang dikasihi-Nya; membangkitkan Lazarus saudara Maria dan Marta. Bacalah Injil Yohanes 11:1-44.

Kisah Yesus membangkitkan Lazarus yang dicatat di Injil Yohanes adalah puncak tanda mujizat ke-7 yang dilakukan Yesus dalam 3,5 tahun pelayanan-Nya (pasal 1-12). Sebelum akhirnya, Yesus ditangkap menuju salib, mati, bangkit dan dimuliakan naik ke surga (pasal 13-21). Fokus dari Injil Yohanes adalah Yesus Mesias, supaya orang mengenal dan percaya kepada-Nya serta memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yohanes 20:30-31).

“Ada seorang yang sedang sakit, lalu meninggal” (ayat 1,14). Inilah krisis yang sedang dialami Maria dan Marta karena saudaranya yang bernama Lazarus (“Allah telah menolong”) sakit dan akhirnya meninggal. Maria, Marta dan Lazarus adalah orang-orang yang dikasihi Yesus (ayat 5). Saat Lazarus sakit, Maria dan Marta mengirim kabar kepada Yesus. Sehari perjalanan, akhirnya kabar itu sampai juga kepada Yesus. Bagaimana respon Yesus?

Perhatikan ayat 6,14, 17-18. Tetapi Yesus tidak segera pergi ke rumah Maria dan Marta. Yesus sengaja menunggu 2 hari, tetap tinggal di tempat di mana Ia berada. Hari berikutnya (sehari perjalanan), barulah Yesus tiba di tempat mereka. Lazarus sudah meninggal. Perhatikan, bagaimana respon Marta dan Maria?

Perhatikan ayat 19-27. Sudah banyak orang yang datang untuk memberikan penghiburan kepada Marta dan Maria. Marta menghadapi realita tragis yang tak dapat dielakkan yaitu kematian dari orang yang dikasihinya. Ketika berjumpa dengan Yesus, tersirat Marta mengatakan “mengapa terlambat, sayang sekali...coba lebih awal?” (ayat 21). “Walaupun terlambat, tidak seperti yang aku harapkan, aku akan tetap percaya” (ayat 22). Selanjutnya, bagaimana respon Maria, ketika Marta berbisik padanya bahwa Yesus telah hadir?

Perhatikan ayat 28-32. Maria tersungkur di dapan kaki Yesus dan berkata kepada Yesus persis seperti yang dikatakan Marta, "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati" (ayat 21,32). Sekarang perhatikan, bagaimana Yesus menanggapi perkataan Marta dan Maria tersebut?

Perhatikan ayat 25-27. Jawab Yesus kepada Marta: “Akulah kebangkitan dan hidup” (ayat 25). Yesus tahu bahwa Lazarus sudah meninggal dan Dia memang akan membangkitkannya. Jadi, ini bukanlah rencana yang mendadak (karena yang pertama gagal), tetapi sejak awal memang Yesus akan membangkitkan Lazarus (bacalah kitab Yesaya 55:8-9). Yesus melakukan hal ini supaya mereka percaya kepada-Nya yang berkuasa bukan sekedar atas penyakit (ayat 4,25). Yesus menunjukkan bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya; ada kebangkitan dan hidup setelah kematian (1 Tesalonika 4:13-14). Yesus menghendaki supaya Marta tidak sekedar percaya berdasar pengetahuan adanya kebangkitan di akhir zaman, tetapi pengakuan iman yang keluar dari hatinya sendiri dan kepercayaan yang sungguh kepada Yesus yang berkuasa membangkitkan Lazarus sesuai rencana-Nya. Yesuslah kebangkitan dan hidup. Bagi orang yang percaya kepada-Nya, kehidupan kekal adalah realita, bukan sekedar peristiwa di masa mendatang.

Perhatikan ayat 33-38. Ketika melihat Maria menangis, Yesus sangat terharu, hati-Nya masygul dan menangislah Dia lalu pergi ke kubur. Dia bukan sekedar Allah yang berkuasa dan punya rencana, tetapi juga Allah yang bertindak di dalam kasih yang penuh kepedulian. Yesus tahu Lazarus mati dan bahkan akan membangkitkannya, tetapi Dia juga sanggup merasakan kepedihan bersama mereka. Bacalah surat Ibrani 5:7.

“Masygul” (“Embrimesato”) adalah sikap menegur dengan keras (bandingkan Markus 14:5). Alkitab interlinier bahasa Yunani tertulis, “merasa sedih bercampur marah dalam roh-Nya dan mengharukan diri-Nya”  (ayat 33). Mengapa Yesus digambarkan marah ketika sedih?

Yesus geram ketika melihat dampak dari dosa yang menimbulkan masalah begitu besar bagi hidup manusia yaitu kematian. Geram karena manusia ada dalam konsekuensi yang tidak bisa dielakkan. Yesus akan membangkitkan Lazarus dan untuk tindakan ini Dia akan segera menggantikan Lazarus; siap menghadapi kematian di kayu salib untuk menggantikan manusia yang berdosa.

“Terharu” (“Tarasso”) bisa berarti “gelisah” (lihat Injil Yohanes 13:21; 14:1,27). Sejak peristiwa membangkitkan Lazarus, para pemimpin agama berniat untuk membunuh Yesus (ayat 53). Kematian Yesus sendiri semakin mendekat.

Perhatikan ayat 39-44. Yesus berseru dengan suara keras: “Lazarus, marilah ke luar!” (ayat 43). Dan Lazarus yang sudah 4 hari mati itu dibangkitkan. Suara keras Yesus (yang mati bangkit dan hidup) menegaskan bahwa Dia siap menghadapi kematian untuk menggantikan manusia yang berdosa. Yesus menegaskan kepastian, keyakinan, ketaatan dan ketangguhan, hati yang didorong oleh kasih yang besar untuk menyerahkan diri-Nya di salib bagi manusia berdosa. Allah yang mengasihi, mengerti segala pergumulan, tetapi juga telah bertindak menyerahkan diri-Nya untuk disalibkan. Bacalah surat Roma 8:32

Dalam dukacita Marta dan Maria, Yesus mengajar mereka serta para murid untuk memiliki 2 sikap percaya kepada-Nya: 1) percaya kepada rencana Allah yang berkuasa, dan 2) percaya kepada kasih Allah yang bertindak. Saudara ada dalam rencana Allah yang berkuasa yang ditujukan untuk maksud baik bagi setiap orang yang dikasihi-Nya. Kasih Allah adalah kasih yang bertindak sudah dinyatakan ketika Yesus memberi diri-Nya disalibkan bagi Saudara, mati dan bangkit mengalahkan maut.

Yesus, Allah yang berinkarnasi, yang telah menyerahkan diri disalib, mengerti bahasa tetesan air mata. Dia berkuasa dan bertindak mengasihi Saudara; percayalah dan milikilah hidup yang kekal! Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd020821)

Tuesday, 27 July 2021



[Ratapan 3:31-33]
Senin, 26 Juli 2021

“Walaupun Dia mendatangkan kedukaan, Dia akan berbelaskasihan 
sesuai dengan kebaikan-Nya yang berlimpah-limpah”
(Renungan Kitab Ratapan 3:31-33)

Bagaimana mungkin, di tengah penderitaan dan kedukaan karena Pandemi Covid-19 saat ini, masih bisa bertahan dan berharap? Percaya bahwa Allah setia, hadir dan mengasihi umat-Nya; kenyataan inilah yang memampukan seseorang untuk bisa bertahan dan berharap di dalam penderitaannya. Bacalah kitab Ratapan 3:31-33.

Ditengah ratapan karena penderitaan yang mendalam, umat Allah di kitab Ratapan mengatakan:

“Sebab Tuhan (“Adonai: Allah yang perkasa”) tidak akan mencampakkannya selama-lamanya; karena walaupun Dia mendatangkan kedukaan, Dia akan berbelaskasihan sesuai dengan kebaikan-Nya yang berlimpah-limpah”  (ayat 31-32, versi ILT). 

1) Bahwa, walaupun dihajar, mereka tidak dibuang. Seorang ayah yang menghajar anaknya bukan berarti merampas hak warisnya.

2) Bahwa meskipun mereka mungkin tampak dibuang untuk sementara waktu, ketika penghiburan-penghiburan jasmani ditangguhkan dan keselamatan-keselamatan yang diinginkan ditunda, namun mereka tidak benar-benar dibuang, karena tidak untuk selama-lamanya mereka dikucilkan.

3) Bahwa, kesedihan apa pun yang tengah meliputi mereka, itu sudah ditetapkan Allah untuk mereka, dan tangan-Nya bekerja di dalamnya. Dialah yang menyebabkan kesedihan, dan karena itu mereka bisa yakin bahwa itu sudah diatur dengan bijak dan penuh rahmat. Dan hanya seketika, ketika diperlukan, mereka berdukacita (bacalah 1 Petrus 1:6).

4) Bahwa Allah menyediakan belas kasihan dan penghiburan bahkan bagi orang-orang yang telah dibuat-Nya berduka.

5) Bahwa, ketika Allah kembali untuk berlaku rahmat kepada mereka, itu bukan menurut jasa-jasa mereka, melainkan menurut kasih setia-Nya, menurut kebesaran, kelimpahan, kasih setia-Nya. Begitu tidak layaknya mereka sehingga tidak ada hal lain selain kasih setia yang melimpah yang akan menolong mereka. Jadi apa lagi yang tidak bisa mereka harapkan dari kasih setia yang seperti itu? Dan sekalipun Allah membuat mereka berduka, itu sama sekali tidak boleh mematahkan harapan-harapan mereka akan kasih setia-Nya.

“Sebab dari hati-Nya Dia tidak menyengsarakan atau mendukakan anak-anak manusia” (ayat 33).

Bahwa, apabila Allah betul-betul menyebabkan kesedihan, itu demi tujuan-tujuan yang bijak dan kudus, dan Allah tidak bersuka dalam melapetaka-malapetaka yang menimpa mereka. Ia memang menindas, dan merisaukan anak-anak manusia. Semua kerisauan dan penindasan mereka sebenarnya ada dalam kedaulatan-Nya. Ia tidak melakukannya dengan rela hati, tidak dari hati, demikian kata yang dipakai.

1) Allah tidak pernah menindas mereka kecuali memberi-Nya alasan untuk melakukannya. Jika Ia menuliskan hal-hal yang pahit melawan mereka, itu memang karena mereka layak mendapatkannya dan juga memerlukannya.

2) Allah tidak menindas dengan senang hati. Ia tidak bersuka dalam kematian orang-orang berdosa, atau kegelisahan orang-orang kudus, tetapi menghukum dengan enggan dan berat hati. Ia sama sekali tidak bersuka dalam segala penderitaan mereka sehingga Ia sendiri menderita, dan jiwa-Nya berduka atas kesengsaraan umat-Nya.

3) Allah mempertahankan kebaikan-Nya terhadap umat-Nya sekalipun Ia sedang menindas mereka. Jika Ia tidak dengan rela hati merisaukan anak-anak manusia, apalagi dengan anak-anak-Nya sendiri. Apa pun itu, Allah itu baik bagi mereka (bacalah Mazmur 73:1), dan mereka dengan iman dapat melihat kasih di dalam hati-Nya bahkan sekalipun mereka melihat kernyit di dahi-Nya dan cambuk di tangan-Nya.

Pandemi Covid-19 memang berat, tetapi lihatlah Allah dan ingatlah siapa Dia, Allah yang penuh belas kasihan kepada anak-anak-Nya. Allah tidak membuang umat-Nya dan melupakannya. Terkadang Dia harus menghukum atau mengoreksi Saudara, tetapi Dia tidak akan membuang Saudara sepenuhnya. Bahkan jika Saudara harus melalui beberapa rasa sakit karena Saudara telah membuat kesalahan, atau mengalami kesedihan karena sakit atau kehilangan; Allah akan menghibur Saudara. Allah tidak menikmati penghukuman-Nya sendiri, tetapi Dia merasakan sakit Saudara. Allah tidak bersukacita atas rasa sakit Saudara, seperti orang tua akan sedih jika Saudara menyakiti diri Saudara sendiri. Tuhan Yesus Kristus mengasihi Saudara. (erd260721)

Sunday, 25 July 2021



[Ratapan 3:25-27]
Sabtu, 24 Juli 2021

“Lihatlah dirimu dan kamu akan depresi. Lihatlah keadaan 
dan kamu akan tertekan. Lihatlah Allah dan kamu akan 
mendapatkan kekuatan serta harapan!
(Renungan Kitab Ratapan 3:25-27)

Dalam menghadapi Pandemi Covid-19 saat ini, lihatlah realita yang ada seperti bagaimana umat Allah di tengah pendertiaan yang sedang dialaminya. Bacalah kitab Ratapan 3:25-27.

Ingat, kitab Ratapan adalah puisi yang indah justru ketika mereka sedang menghadapi pendertiaan yang mendalam. Iman memungkinkan mereka untuk melihat keadaan mereka saat itu melalui realitas Allah dan karakter-Nya, dan ini memberi mereka harapan.

Ratapan 3:25-27 dalam struktur teks Ibrani semuanya dimulai dengan kata “baik”. Meskipun penderitaan tidak enak, tetapi ada beberapa kebaikan dalam penderitaan. 1) Allah baik kepada orang yang berharap kepada-Nya. 2) Adalah baik menanti pertolongan Allah dengan diam (sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan). 3) Adalah baik dihukum dan didisiplin Allah karena kasih-Nya, sekarang daripada nanti.

“ALLAH itu baik bagi orang yang menanti-nantikan Dia, bagi jiwa yang mencari hadirat-Nya” (ayat 25, versi SB2010)Apakah Saudara masih merasakan Allah baik dalam hidup Saudara? Apakah Saudara hanya menganggap Allah baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi Saudara? Ingat, Saudara alami atau tidak kebaikan Allah dalam hidup Saudara, Allah tetap baik. Saudara terima atau tidak, Allah tetap baik. Kebaikan Allah tidak pernah ditentukan pengalaman atau perasaan Saudara. Kebaikan Saudara tidak pernah di tentukan dari apa yang Saudara telah atau belum terima. Apapun itu, Allah tetap baik. Bacalah Injil Lukas 11:11-13.

“Baik jika seseorang menanti dengan tenang keselamatan dari ALLAH”  (ayat 26). Menantikan Allah bekerja dan berkarya dengan iman dan pengharapan. Menanti dengan penuh iman Allah berkarya memulihkan dan memberikan keselamatan. “Dalam pertobatan dan ketenangan kamu akan diselamatkan, dalam keheningan dan memercayakan diri akan ada kekuatanmu” (Kitab Yesaya 30:15b). Mengapa bisa tenang dan teduh dalam menghadapi Pandemi Covid-19 saat ini adalah karena iman.

“Adalah baik bagi seorang yang memikul kuk pada masa mudanya” (ayat 27). Adapun anak-anak dan remaja yang menderita, bahkan mereka bisa belajar dari pengalaman ini dan tumbuh menjadi pria dan wanita yang kuat (ayat 27). Nabi Yeremia dalam kitab Ratapan ini adalah seorang lelaki tua, tetapi dia menderita di masa mudanya, jadi dia tahu apa yang dibicarakan saat ini (lihat Yeremia 1: 8, 17-19; 15:10, 15-17). Pengalaman masa mudanya dalam berbagai penderitaan membantu mempersiapkannya untuk menghadapi penderitaannya saat ini.

Dalam penderitaan pandemi Covid-19 saat ini, Saudara senantiasa mendapatkan kekuatan baru karena pengharapan, komitmen, dan mengingat karakter Allah yang baik. Kebaikan Saudara tidak pernah di tentukan dari apa yang Saudara telah atau belum terima. Apapun itu, Allah tetap baik. Jadikanlah Allah sebagai yang terutama dalam hidup Saudara. Nantikanlah Allah dengan tenang dan iman. Tuhan Yesus Kristus memberkati. Soli Deo Gloria! (erd240721)

Friday, 23 July 2021

 


[Ratapan 3:20-24]
Jumat, 23 Juli 2021

Orang yang terlalu melihat masalah seringkali melupakan hal-hal 
yang indah tentang Allah sehingga ia merasa terus tertekan. 
Milikilah perspektif yang benar tantang Allah dan kasih-Nya. 
(Renungan Kitab Ratapan 3:20-24)

Pandemi Covid-19 sudah menimbulkan berbagai pergumulan, ketakutan, penderitaan, bahkan dukacita dan hilangnya harapan. Tidak ada yang bisa memastikan dengan tepat kapan pandemi ini akan berakhir dan bagaimana virusnya bisa dimatikan serta tidak membahayakan. Masih adakah alasan untuk menyongsong hari depan di tengah pergumulan pandemi Covid-19 saat ini? Renungkan Kitab Ratapan. Bacalah kitab Ratapan 3:20-24.

Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Entah berapa ribu orang yang sudah mati karena peperangan dan kelaparan saat itu. Mereka kehilangan kota Yerusalem, tanah perjanjian, dan bait Allah di dalamnya (1:1,4,6,10; 2:4-5,13). Sunyi senyap tanah perjanjian ditinggalkan oleh penduduknya yang diangkut ke pembuangan. Musnah sudah keindahan, kemegahan, dan kekokohan bait Allah.

Tetapi, dalam ratapan penderitaan tersebut, perhatikan puisi yang ketiga (Ratapan 3:1-66); salah satu teks terindah. Puisi yang terpanjang (3 baris x 22 bait/ayat) dan berada di bagian tengah kitab ini berbicara tentang keyakinan bahwa pengampunan dan kesetiaan Allah masih tersedia. Kasih-Nya yang memberi harapan. Penulis dan pembaca puisi menemukan cara pandang yang baru bahwa kesetiaan Allah dan keutamaan Allah dalam penderitaan merupakan alasan untuk berharap kepada Allah.

Perhatikan ayat 20,21. “Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku. Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap”. Awalnya teringat dan fokus pada masalah, tetapi kemudian mengambil pilihan yang tepat;  memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan Allah, bukan persoalannya. Kata kerja “kuperhatikan” dalam teks Ibrani mengandung arti “kukembalikan”, dan dikembalikannya pada “hati/pikiran”.  Beberapa terjemahan mengatakan “Aku memperhatikan/mengembalikan hal ini dalam hatiku; oleh karena itu, aku berharap”. “This I recall to my mind; therefore I have hope”. Hati yang dulu sangat dikuasai oleh persoalan diri dan kemalangan, sekarang diisi dengan kebenaran ilahi. Kebenaran yang sempat terlupakan, tetapi sekarang dikembalikan lagi ke hatinya. Dan sekarang, bukan hanya “akan berharap”, tetapi “memiliki pengharapan” (mayoritas versi: “I have hope”). Pengharapan ini bersifat pasti. Hal apa yang dikembalikan ke dalam hati? Cara pandang seperti apa yang membuat mampu berharap?

Perhatikan ayat 22,23. Kesetiaan Allah yang terus menerus. Ada tiga kata yang digunakan (“kasih setia, rahmat, dan kesetiaan”) yang merujuk pada kebaikan Allah walaupun aspek yang ditekankan berbeda-beda. Kata “kasih setia” (khesed­) biasanya digunakan untuk kesetiaan Allah atas perjanjian-Nya; kasih dalam konteks perjanjian. Kata “rahmat” (rahămîm) diidentikkan dengan belas kasihan atas orang berdosa atau orang yang menderita. Kata “kesetiaan” (Ä•mûnâh) lebih mengarah pada kesetiaan atau keteguhan dalam melakukan sesuatu.

Kasih setia Allah menjamin bahwa perjanjian dengan umat-Nya akan terus ada. Rahmat-Nya memastikan bahwa umat Allah yang berdosa tetap mengalami kebaikan-Nya. Kesetiaan-Nya merupakan sauh yang kuat untuk menyandarkan hidup yang terus bergoncang. Meskipun mereka telah memberontak terhadap Allah, sehingga Allah menghukum mereka, tetapi Allah tetap setia terhadap janji-Nya. Tidak selama-lamanya Allah menghukum (bacalan ayat 31-33). Tentang hal ini, Rasul Paulus menulis, “Jika kita tidak setia, Allah tetap setia, karena Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya" (2 Timotius 2:13) 


“Tak berkesudahan kasih setia Tuhan” (ayat 22a), seringkali dipahami bahwa yang menjadi subyek dari kata kerja “tak berkesudahan” adalah kasih setianya Allah. Tetapi, tertulis subyeknya adalah orang pertama jamak (“kami”), sehingga teks terjemahan lain menulis “Karena kasih abadi ALLAH, kita tidak dihabiskan”. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya keadaan mereka bisa lebih buruk daripada yang dialami sekarang. Jadi, keadaan mereka yang sekarang bukanlah yang terburuk seperti yang mereka pikirkan. Ketika mengalami kecelakaan atau permasalahan, seringkali orang mengatakan “Masih untung tidak ini..., masih untung bisa ini..., masih untung ada ini...”

Sebenarnya, hal yang terburuk adalah Allah bisa memusnahkan mereka karena dosa mereka, tetapi Allah tidak melakukannya; itulah kenyataannya. Hal-hal yang positif seperti inilah yang perlu dikembalikan ke dalam hati/pikiran yang sedang mengalami pergumulan hidup; cara pandang yang benar tentang Allah dan kasih-Nya.

Perhatikan ayat 24. Keutamaan Allah. Ayat 24 menegaskan kembali ayat 21; sama-sama menegaskan tentang pengharapan. Keduanya sama-sama menyentuh bagian terdalam dalam diri manusia (ayat 21 “hati”; ayat 24 “jiwa”). Meskipun Yerusalem dan Bait Allah telah hancur, tetapi mereka masih memiliki “sesuatu” yang paling berharga, yaitu Allah sendiri. Mereka mungkin kehilangan harta benda, keluarga, kota, kebanggaan sebagai suatu bangsa, dan sebagainya, tetapi mereka tetap memiliki Tuhan sebagai Allah mereka. Bacalah Mazmur 73:25-26, Asaf mengakui bahwa Allah adalah bagian Asaf yang lebih berharga dari segala sesuatu.

 

"TUHAN adalah bagianku". Kata “bagian” (khÄ“leq) di sini seringkali muncul dalam konteks pembagian tanah, harta, atau barang yang lain. Intinya, apa yang dibagikan merupakan milik seseorang sesuai dengan pembagian tersebut. Seseorang tidak perlu merisaukan bagian orang lain. Ia tidak perlu mengingini apa yang bukan menjadi miliknya. Orang lain mendapat bagian yang lain pula. Jadi melalui ungkapan ini, mereka sedang membedakan Allah dengan semua pemberian-Nya. Allah berbeda dengan berkat-berkat-Nya. Bagian terbaiknya adalah Allah sendiri, bukan pemberian-Nya (kesehatan, kekayaan, keberhasilan) yang mudah hilang. Ingat, pada saat menulis/membaca puisi ratapan ini, mereka memang tidak memiliki berkat Allah apapun. Tetapi masih ada bagian yang terbaik: Allah sendiri.


Saudara, menghadapi pandemi Covid-19 memang berat. Ada banyak pergumulan bahkan penderitaan dan kehilangan. Tetapi, milikilah cara pandang yang benar tentang Allah dan kasih-Nya; memfokuskan hati dan pikiran pada-Nya, bukan pada masalah. Mengutamakan Allah dan tetap bersyukur pada-Nya. Dimiliki dan memiliki Allah lebih dari segalanya. Allah setia, mengampuni dan mengasihi setiap anak-Nya. Bukan saja baru tiap pagi, bahkan juga besar kesetiaan-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd230721)

Wednesday, 21 July 2021



[Kejadian 22:1-19]
Rabu, 21 Juli 2021

“Allah menguji iman dan kesetiaan Saudara. Melalui kesulitan dan tantangan hidup, iman Saudara dihidupkan dan kesetiaan Saudara dimurnikan”

(Renungan Kitab Taurat, Kejadian 22:1-19)

Bagi sebagian orang, Pandemi Covid-19 saat ini sangat menekan hidup mereka. Pandemi Covid-19 menjadi cobaan yang sulit dihadapi. Apakah Saudara pernah mengalami situasi yang menekan hidup Saudara dan tidak bisa memahaminya serta berkata “mengapa semua ini harus terjadi menimpa diriku?”  Belajarlah dari kisah Nabi Ibrahim, bagaimana kesetiaannya kepada Allah teruji dalam ketaatannya. Bacalah Kitab Taurat, Kejadian 22:1-19. Allah menguji kesetiaan Ibrahim dengan memintanya untuk taat perintah-Nya, yaitu mengurbankan Ishak, anak yang dikasihinya, sebagai kurban bakaran untuk-Nya.

Sudah kurang lebih 40 tahun Ibrahim mengenal Allah dan hidup bersama-sama Allah, tidak pernah mengalami peristiwa yang mengejutkan seperti ini. Elohim (Allah Pencipta) berfirman: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu" (ayat 2). Kurban bakaran adalah istilah Ibrani "pemusnahan" yang berarti "pengurbanan yang habis terbakar."

Saudara, bagaimana reaksi emosional Saudara dalam posisi Ibrahim saat itu? Alkitab memang tidak menceritakan secara detail reaksi emosional Ibrahim. Ada beberapa hal yang bisa menggoncangkan pengenalan Ibrahim tentang Allah yang selama ini disembahnya.

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang mengingkari janji-Nya sendiri; bukan Allah yang setia pada janji-Nya? Bukankah sebelumnya Dia berjanji bahwa keturunan Ibrahim akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (Kejadian 12:2). Tetapi sekarang, Allah justru meminta Ibrahim untuk mengorbankan anak itu!

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang penuh cemburu, pembunuh sukacita; bukan Allah yang penuh kasih? Sara, istri Ibrahim yang sudah lanjut usia itu melahirkan seorang anak laki-laki; ada tawa sukacita kebahagiaan di rumah tendanya. Anak itu diberi nama Ishak yang artinya “tertawa”. Tetapi sekarang, Allah meminta anak itu! Apakah Allah-nya Ibrahim seperti dewa-dewa orang kafir yang menuntut pengorbanan darah manusia untuk menyenangkan hatinya?

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang menuntut terlalu banyak, bukan Allah yang beranugerah? Bukankah sebelumnya seluruh hidup Ibrahim sudah diperhambakan kepada dan untuk Allah? Sejak 40 tahun silam, saat Ibrahim berusia 75 tahun; dia telah rela dan taat meninggalkan negerinya, rumah bapanya, sanak-saudaranya ke tempat yang ia tidak ketahui (Kejadian 12:1).

Sepanjang malam itu, Ibrahim bergumul “mengapa Allah.. mengapa aku harus melakukan hal yang menyakitkan ini.. mengapa Allah?”  Ibrahim sampai pada puncak serangkaian ujian imannya. Awalnya, dia diminta untuk meninggalkan masa lalunya (Kejadian 12). Sekarang, dia diminta untuk menyerahkan masa depannya (Kejadian 22).

Tetapi, keesokan harinya pagi-pagi benar Ibrahim sudah bangun, keluar dari kemahnya dan mempersiapkan diri, dan membawa Ishak ke tempat yang telah ditetapkan Allah untuk pengurbanan anaknya (ayat 3). Tiga hari perjalanan yang ditempuhnya, menjadi perjalanan yang berat (ayat 4). Bayangkan, sesekali ia melihat wajah Ishak, anak lelakinya itu. Ia menoleh, melihat rumah tendanya dan memikirkan Sara yang bersukacita. Tetapi Ibrahim taat meskipun belum menemukan jawaban atas pergumulan “mengapa Allah memerintahkannya?”. Bagaimana Ibrahim tetap melangkah mentaati Allah-nya?

Perhatikan ayat 5, “sesudah itu kami kembali kepadamu”. Tersirat bahwa Ibrahim memastikan bahwa dirinya dan Ishak akan kembali. Apakah ini hanya penghiburan kosong saja? Tetapi bacalah kitab Ibrani 11:17-19. Ribuan tahun setelah peristiwa tersebut, penulis kitab Ibrani menjelaskan tentang iman Ibrahim. Ibrahim percaya pada kemahakuasaan dan integritas Allah bahwa Allah itu baik dan dapat disandari. Iman tidak menuntut penjelasan dan tidak bergantung pada perasaan; Iman bertumpu pada Allah dan janji kesetiaan Allah.

Perhatikan ayat 7,8,14. Betapa gentarnya hati Ibrahim ketika mendengar Ishak bertanya, “tetapi di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?” Haruskah Ibrahim melakukan dengan tangannya sendiri? Bukankah Ibrahim bisa mengajak Ishak pulang dan mengatur hidup mereka sendiri? Tetapi Ibrahim tidak melakukannya dan menjawab pertanyaan anaknya dengan iman “Yehova Jireh! Allah yang menyediakan”. Meskipun mata Ibrahim tidak melihatnya, tetapi mata imannya melihat Allah menyediakan.

Perhatikan ayat 10-12. Sesudah itu Ibrahim mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Ibrahim, Ibrahim." Sahutnya: "Ya, Tuhan." (ayat 10,11). Bayangkan, dengan hati dan tangan yang masih gemetar, Ibrahim memutus tali pengikat Ishak, mencium peluk anak itu erat-erat. Ibrahim sadar ia telah memperoleh hidup Ishak kembali oleh karena anugerah Allah, sebagaimana Ishak hadir dalam kandungan Sarah juga oleh karena anugerah Allah. Pertolongan Allah hadir tepat pada waktunya, tidak pernah terlambat (bacalah Ibrani 4:16).

Yehova Jireh! Allah yang menyediakan apa yang dibutuhkan, seekor domba jantan sebagai korban bakaran ganti Ishak (ayat 13-14). Bayangkan situasinya, di atas gunung itu Ibrahim memegang pundak anaknya, menunjuk ke langit dan berkata “Allah menguji iman dan kesetiaan kita. Melalui kesulitan dan tantangan hidup, iman kita dihidupkan dan kesetiaan kita dimurnikan, sekalipun itu berarti harus mengorbankan sesuatu yang kita kasihi”

Perhatikan ayat 15-19. Dan karena ketaatan Ibrahim, Allah akan menggenapi janji-Nya, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku" (ayat 18). Sebenarnya, Allah tidak membiarkan iman Ibrahim berhenti bertumbuh dalam kebahagiaan hidup yang sudah dinikmatinya.

Saudara, sebenarnya Ishak merupakan bayangan Kristus yang akan dipersembahkan sebagai korban. Tetapi jika Allah terlihat tidak tega Ibrahim mempersembahkan anak yang dikasihinya, maka Allah Bapa nanti akan mempersembahkan Anaknya yg tunggal (bacalah Injil Yahya 3:16), satu-satunya pengorbanan yang akhirnya bisa dan sepenuhnya menghapus dosa dunia. Ketika berjumpa dengan Yesus, Yahya pembabtis berkata, "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yahya 1:29). 

Saudara, pandemi Covid-19 memang berat. Tetapi dengan iman, nikmatilah kesulitan dan tantangan hidup yang ada sebagai ujian yang memurnikan iman Saudara. Jehova Jireh. Allah tetap setia dengan janji-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd210721)

Selasa, 31 Desember 2024 "Tahun Baru: Hidup Baru Dengan Ketaatan Kepada-Nya" (Renungan Natal menyambut Tahun Baru 2025) Banyak...