Pandemi Covid-19 sudah menimbulkan berbagai pergumulan, ketakutan, penderitaan, bahkan dukacita dan hilangnya harapan. Tidak ada yang bisa memastikan dengan tepat kapan pandemi ini akan berakhir dan bagaimana virusnya bisa dimatikan serta tidak membahayakan. Masih adakah alasan untuk menyongsong hari depan di tengah pergumulan pandemi Covid-19 saat ini? Renungkan Kitab Ratapan. Bacalah kitab Ratapan 3:20-24.
Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Entah berapa ribu orang yang sudah mati karena peperangan dan kelaparan saat itu. Mereka kehilangan kota Yerusalem, tanah perjanjian, dan bait Allah di dalamnya (1:1,4,6,10; 2:4-5,13). Sunyi senyap tanah perjanjian ditinggalkan oleh penduduknya yang diangkut ke pembuangan. Musnah sudah keindahan, kemegahan, dan kekokohan bait Allah.
Tetapi, dalam ratapan penderitaan tersebut, perhatikan puisi yang ketiga (Ratapan 3:1-66); salah satu teks terindah. Puisi yang terpanjang (3 baris x 22 bait/ayat) dan berada di bagian tengah kitab ini berbicara tentang keyakinan bahwa pengampunan dan kesetiaan Allah masih tersedia. Kasih-Nya yang memberi harapan. Penulis dan pembaca puisi menemukan cara pandang yang baru bahwa kesetiaan Allah dan keutamaan Allah dalam penderitaan merupakan alasan untuk berharap kepada Allah.
Perhatikan ayat 20,21. “Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku. Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap”. Awalnya teringat dan fokus pada masalah, tetapi kemudian mengambil pilihan yang tepat; memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan Allah, bukan persoalannya. Kata kerja “kuperhatikan” dalam teks Ibrani mengandung arti “kukembalikan”, dan dikembalikannya pada “hati/pikiran”. Beberapa terjemahan mengatakan “Aku memperhatikan/mengembalikan hal ini dalam hatiku; oleh karena itu, aku berharap”. “This I recall to my mind; therefore I have hope”. Hati yang dulu sangat dikuasai oleh persoalan diri dan kemalangan, sekarang diisi dengan kebenaran ilahi. Kebenaran yang sempat terlupakan, tetapi sekarang dikembalikan lagi ke hatinya. Dan sekarang, bukan hanya “akan berharap”, tetapi “memiliki pengharapan” (mayoritas versi: “I have hope”). Pengharapan ini bersifat pasti. Hal apa yang dikembalikan ke dalam hati? Cara pandang seperti apa yang membuat mampu berharap?
Perhatikan ayat 22,23. Kesetiaan Allah yang
terus menerus. Ada
tiga kata yang digunakan (“kasih setia,
rahmat, dan kesetiaan”) yang merujuk pada kebaikan Allah walaupun aspek
yang ditekankan berbeda-beda. Kata “kasih
setia” (khesed) biasanya digunakan untuk kesetiaan Allah atas
perjanjian-Nya; kasih dalam konteks perjanjian. Kata “rahmat” (rahămîm)
diidentikkan dengan belas kasihan atas orang berdosa atau orang yang menderita.
Kata “kesetiaan” (’ĕmûnâh) lebih mengarah pada kesetiaan atau keteguhan dalam
melakukan sesuatu.
Kasih setia Allah menjamin bahwa perjanjian dengan umat-Nya akan terus ada. Rahmat-Nya memastikan bahwa umat Allah yang berdosa tetap mengalami kebaikan-Nya. Kesetiaan-Nya merupakan sauh yang kuat untuk menyandarkan hidup yang terus bergoncang. Meskipun mereka telah memberontak terhadap Allah, sehingga Allah menghukum mereka, tetapi Allah tetap setia terhadap janji-Nya. Tidak selama-lamanya Allah menghukum (bacalan ayat 31-33). Tentang hal ini, Rasul Paulus menulis, “Jika kita tidak setia, Allah tetap setia, karena Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya" (2 Timotius 2:13)
“Tak berkesudahan
kasih setia Tuhan” (ayat 22a), seringkali dipahami bahwa yang
menjadi subyek dari kata kerja “tak
berkesudahan” adalah kasih setianya Allah. Tetapi, tertulis subyeknya
adalah orang pertama jamak (“kami”),
sehingga teks terjemahan lain menulis “Karena
kasih abadi ALLAH, kita tidak dihabiskan”.
Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya keadaan mereka bisa lebih buruk
daripada yang dialami sekarang. Jadi, keadaan mereka yang sekarang bukanlah
yang terburuk seperti yang mereka pikirkan. Ketika mengalami kecelakaan
atau permasalahan, seringkali orang mengatakan “Masih untung tidak ini..., masih untung bisa ini..., masih untung ada
ini...”
Sebenarnya, hal yang terburuk adalah Allah bisa memusnahkan
mereka karena dosa mereka, tetapi Allah tidak melakukannya; itulah kenyataannya.
Hal-hal yang positif seperti inilah yang perlu dikembalikan ke dalam
hati/pikiran yang sedang mengalami pergumulan hidup; cara pandang yang benar
tentang Allah dan kasih-Nya.
Perhatikan ayat 24. Keutamaan Allah. Ayat 24
menegaskan kembali ayat 21; sama-sama menegaskan tentang pengharapan. Keduanya
sama-sama menyentuh bagian terdalam dalam diri manusia (ayat 21 “hati”; ayat 24
“jiwa”). Meskipun Yerusalem dan Bait Allah telah hancur, tetapi mereka masih
memiliki “sesuatu” yang paling
berharga, yaitu Allah sendiri. Mereka mungkin kehilangan harta benda, keluarga,
kota, kebanggaan sebagai suatu bangsa, dan sebagainya, tetapi mereka tetap
memiliki Tuhan sebagai Allah mereka. Bacalah
Mazmur 73:25-26, Asaf mengakui bahwa Allah adalah bagian Asaf yang lebih
berharga dari segala sesuatu.
"TUHAN adalah bagianku". Kata “bagian” (khēleq)
di sini seringkali muncul dalam konteks pembagian tanah, harta, atau barang
yang lain. Intinya, apa yang dibagikan merupakan milik seseorang sesuai dengan
pembagian tersebut. Seseorang tidak perlu merisaukan bagian orang lain. Ia
tidak perlu mengingini apa yang bukan menjadi miliknya. Orang lain mendapat
bagian yang lain pula. Jadi melalui ungkapan ini, mereka sedang membedakan Allah dengan semua pemberian-Nya. Allah
berbeda dengan berkat-berkat-Nya. Bagian terbaiknya adalah Allah sendiri, bukan
pemberian-Nya (kesehatan, kekayaan, keberhasilan) yang mudah hilang. Ingat, pada
saat menulis/membaca puisi ratapan ini, mereka memang tidak memiliki berkat
Allah apapun. Tetapi masih ada bagian yang terbaik: Allah sendiri.
Saudara, menghadapi pandemi Covid-19 memang berat. Ada banyak pergumulan bahkan penderitaan dan kehilangan. Tetapi, milikilah cara pandang yang benar tentang Allah dan kasih-Nya; memfokuskan hati dan pikiran pada-Nya, bukan pada masalah. Mengutamakan Allah dan tetap bersyukur pada-Nya. Dimiliki dan memiliki Allah lebih dari segalanya. Allah setia, mengampuni dan mengasihi setiap anak-Nya. Bukan saja baru tiap pagi, bahkan juga besar kesetiaan-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd230721)