Tak berkesudahan kasih setia
TUHAN, tak habis-habisnya
rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar
kesetiaan-Mu!
(Renungan Kitab Ratapan 3:1-66)
Bagaimana ayat favorit banyak orang ini bisa relevan dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini? Tahukah Saudara bahwa ayat tersebut adalah bagian dari puisi ratapan yang sangat menyedihkan? Ratapan ini ditulis oleh saksi mata yang melihat kota Allah Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan, penduduknya sangat menderita kemudian diangkut ke negeri pembuangan. Kitab Ratapan ini dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Sampai sekarang orang-orang Yahudi bahkan membaca kitab ini di Tembok Ratapan minimal sekali dalam seminggu. Bagaimana mereka tetap bisa mengatakan, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN"? Bacalah Kitab Ratapan 3:1-66.
Kitab Ratapan terdiri dari 5 puisi (pasal) ratapan. Dua puisi pertama (pasal 1-2), masing-masing terdiri dari 22 bait dan ditulis secara akrostik mengikuti jumlah abjad Ibrani. Puisi pertama (1:1-22) berbicara tentang bencana yang hebat dan mendatangkan ratapan yang mendalam. Puisi kedua (2:1-22) berbicara tentang “Sang Penyebab”, meratap karena menyadari bahwa kedaulatan Allah dinyatakan bagi orang berdosa. Lalu apa yang tertulis dalam puisi selanjutnya?
Tetapi sekarang, puisi yang ketiga (3:1-66) ini berbicara tentang pemulihan. Puisi kitab Ratapan yang terpanjang (3 x 22 ayat) dan berada di bagian tengah kitab ini bersifat sangat pribadi, menggunakan kata ganti pribadi “aku”, berbicara tentang diri penulis atau pembaca sendiri. Tersirat bahwa puisi ketiga ini adalah puisi penting yang berbicara tentang keyakinan bahwa pengampunan dan kesetiaan Allah masih tersedia. Ada kalimat yang indah yang tertulis di sana, di tengah-tengah keseluruhan puisi tentang perasaan pribadinya.
“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22-23). Penulis menyadari bahwa Allah bisa saja menghanguskan semua orang dalam kemarahan-Nya, tetapi Allah tidak melakukannya. Allah justru membuang mereka ke Babel, tetapi mereka masih hidup. Bangsa itu tidak dibasmi, mereka masih suatu bangsa. “Karena belas kasih-Mu, aku tidak binasa”. Binasa artinya hancur tak bersisa. Kemarahan Allah masih ada tetapi ia memuji belas kasih-Nya.
“Tak habis-habisnya rahmat-Nya”. Penulis dan pembaca puisi senantiasa mengingat-ingat kebaikan Allah. Adalah rahmat (belas kasih) dan bukan hak karena sudah melakukan sesuatu, jika menikmati kebahagiaan. Segala sesuatu yang dimiliki dan dinikmati, bahkan kehidupannya, semuanya adalah rahmat (belas kasih) karena memang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan sesuatu apapun. Dan rahmat-Nya “selalu baru tiap pagi; besar Kesetiaan-Mu!”, puisi yang indah.
Dalam puisi ketiga kitab Ratapan, penulis dan pembaca puisi telah berhasil mengatasi dukacitanya dengan menyadari bahwa Allah belum membasmi habis semua orang. Dan dalam belas kasihan-Nya, Ia telah membuat sebagian dari mereka tetap hidup. Memang ada umat yang diangkut ke pembuangan, tetapi di sana ada umat seperti Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; orang-orang yang beriman dengan kesunguhan hati menyembah Allah. Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan, tetapi tidak menutup peluang kesempatan untuk Daniel berdoa kepada Allah. Di tanah pembuangan, Daniel tetap mencari Allah dan berdoa. Ternyata tidak dibatasi oleh tempat dan lokasi tertentu, di tempat pembuangan pun Allah tetap berkenan untuk dijumpai. Bahwa rahmatnya selalu baru setiap pagi. Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Selanjutnya, apa yang mereka lakukan?
Bacalah ayat 25-29. Merendahkan diri, sabar. Mereka merendahkan diri di hadapan Allah dengan sabar... dan sabar.
Bacalah
ayat 40-42. Bertobat. Mereka minta ampun untuk dosa pribadi dan bangsanya.
Bacalah
ayat 55-57. Berseru kepada Allah. Orang yang terperosok ke dalam lubang
yang sangat dalam biasanya depresi dan sangat sulit untuk berseru, tetapi
penulis dan pembaca puisi berseru kepada Allah.
Dalam pergumulan berat karena pandemi Covid-19 saat ini, milikilah pengharapan, tetap kuat dan dengan iman mengatakan kepada diri sendiri bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan”. Datang pada-Nya dan berserulah. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd190721)