Wednesday, 14 July 2021



[Ratapan 1:1-22]
Selasa, 13 Juli 2021

 “Saat Saudara mengalami bencana, salah satu hal penting adalah mengungkapkan perasaan Saudara untuk meratap kepada Tuhan”.
(Renungan Kitab Ratapan 1:1-22)

Betapa hari-hari di bulan Juli 2021 saat ini hidup dipenuhi dengan ratapan, pergumulan dan dukacita karena pandemi Covid-19. Ratapan seperti ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti ratapan yang tertulis di Alkitab, yang dibacakan di bulan Juli setiap tahunnya. Bacalah dan renungkan Kitab Ratapan. Renungkan bagaimana ratapan yang digambarkan di Kitab Ratapan pasal 1.

Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan bait Allah pada 587 SM oleh bangsa Babel maupun 70 M oleh bangsa Romawi. Sampai sekarang orang-orang Yahudi bahkan membaca kitab ini di Tembok Ratapan minimal sekali dalam seminggu.

Kitab Ratapan (bahasa Latin) disebut juga “air mata” (bahasa Yunani) atau “betapa” (kata pertama dalam gulungan teks Ibrani). Kitab bahasa Indonesia dimulai dengan kata “Ah”. Kitab ini adalah salah satu kitab yang menyedihkan, ditulis oleh saksi mata dengan tetesan air mata ketika melihat kota Allah Yerusalem dan Bait Allah hancur lebur. Bahkan digambarkan, para ibu memaksa makan bayi-bayi mereka, bahkan makan plasenta dari ibu yang melahirkan (Ratapan 2:20), mereka sungguh putus asa dan keadaannya sangat menyedihkan. Dalam konteks teokrasi (Allah sebagai pemimpin tertinggi), tidak mudah bagi penulis kitab untuk menyaksikan bagaimana negara teokrasi ini akhirnya justru musnah.

Menariknya, Kitab Ratapan ditulis dengan cara yang sangat unik, indah dan seksama berupa 5 puisi ratapan (5 pasal). Pasal 1, 2, 4, 5; masing-masing terdiri dari 22 bait (ayat). Pasal 3 terdiri dari 66 bait (22 x 3). 22 adalah jumlah abjad Ibrani yang dipakai sebagai bingkai untuk menulis puisi ini dalam bentuk akrostik. Misalnya, pasal 1 terdiri dari 22 bait, dan setiap bait terdiri dari 3 baris. Bait pertama, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani Aleph. Bait kedua, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani berikutnya, Bet; dan seterusnya berurutan sampai bait ke-22, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani terakhir Taw.

Bagaimana mungkin seorang yang sedang meratap dengan penuh kesedihan, yang tidak menghiraukan keteraturan maupun keindahan dari ratapannya, tetapi bisa menuliskan puisi akrostik yang seksama dan indah? Bukan sekedar supaya mudah diingat dan menggambarkan ratapan yang lengkap serta mendalam, tetapi juga memberikan kesan sebagai tulisan rasional yang teratur guna menemukan pesan teologis di dalamnya. Bagaimana ratapan yang mendalam dan menyeluruh ini digambarkan?

Bacalah ayat 1-3. Kota Yerusalem seperti seorang janda yang meratap sangat dalam. Yerusalem kota Allah dan Bait Suci telah hancur lebur. Rajanya yang tadinya, atau yang seharusnya, adalah suaminya, menceraikannya dan pergi. Seorang janda dan budak yang ditinggalkan semua orang. Kota yang tadinya berkuasa sekarang ditundukkan. Kota yang tadinya penuh dengan kegembiraan sekarang menjadi murung dan penuh dengan kesedihan dalam segala hal. Mereka yang tadinya bangsa yang dikhususkan, sekarang menjadi bangsa yang bercampur dan tidak mendapat ketentraman. Siapa yang menyangka bisa sampai seperti ini! Ratapannya semakin mendalam ketika mengingat bahwa Tuhan sebelumnya sudah berjanji akan memelihara Yerusalem (bacalah 2 Samuel 7:10-16; Yesaya 37:30-35).

Bacalah ayat 4-7. ­Lenyaplah dari putri Sion segala kemuliaannya. Jalan-jalannya diliputi duka, perayaan-perayaannya ditinggalkan pengunjung, pintu-pintu gerbangnya (tempat-tempat persidangannya) sunyi senyap, imam-imamnya mengeluh, dara-daranya bersedih, dan ia sendiri pilu hatinya. Hukuman ilahi atas dosa-dosanya membuat dia jatuh ke tangan lawan-lawannya, dan mereka menawan anak-anaknya ke pembuangan. Para pemimpinnya bagaikan rusa tanpa padang rumput, mereka tidak dapat lari dari pengejarnya (lihat Yeremia 39:4-7). Terkenanglah Yerusalem. Kenangan tentang hari-hari bahagia hanya menambah kesedihan Sion, terutama ketika ia diejek oleh orang-orang yang menontonnya dengan sukacita.

Bacalah ayat 8-11.  Yerusalem sangat berdosa. Dosa tidak pernah mendatangkan kebahagiaan yang sempurna. Yerusalem yang dihina dan dinajiskan oleh orang-orang yang dahulu menghormatinya, memalingkan muka dengan malu atas ketelanjangannya; karena penyelewengan dan kelalaian telah mendatangkan akibat-akibat menyedihkan. Orang-orang yang tidak mengenal Tuhan telah menjarah perkakas-perkakas Bait Suci, dan bangsa yang cemar telah menyerbu masuk tempat kudus yang menurut ketetapan Yahweh terlarang. Dengan mengerang karena butuh makanan, mereka menukarkan barang-barang berharga dengan roti demi menyambung hidup (perhatikan ayat 9 dan 11).

Bacalah ayat 12-16. Malapetaka yang diberikan Allah adalah keras, tetapi pantas diterima, sebagaimana pengakuan sang peratap. Dari atas dikirim-Nya api masuk ke dalam tulang-tulangnya. Putri Yehuda menceritakan penderitaan yang dialaminya di tangan Tuhan - demam pada tulang-tulangnya, jaring di kakinya, kecewa dan tidak berdaya sepanjang hari. Allah telah menjalin dosa-dosa putri Sion menjadi kuk penindasan dan perbudakan. Darah teruna-teruna Sion diumpamakan sebagai anggur yang diperas di tempat pengirikan untuk perayaan musuh-musuh Yehuda. Karenanya Yehuda menangis, tanpa ada yang dapat menghibur dan tanpa ada yang dapat memulihkan, sebab anak-anak mereka binasa sementara musuh-musuh mereka berjaya.

Bacalah ayat 17-19. “Kekasih-kekasihku… memperdayakan aku”. Sion mengulurkan tangan meminta tolong, tetapi tidak ada yang mengacuhkan, karena perintah yang adil dari TUHAN menjadikan para kekasihnya musuh. Tetangga-tetangga Yakub, yang kini menjadi lawan, memperlakukan Yerusalem sebagai sesuatu yang najis. Sion menerima balasan atas pemberontakannya. Para imam dan para tua-tua mereka yang berjuang memenuhi kebutuhan pokok mereka telah mati kelaparan; dan teruna-teruna muda dan dara-daranya menjadi tawanan.

Bacalah ayat 20-22. “Ya, TUHAN, lihatlah, betapa besar ketakutanku… tiada penghibur bagiku”. Sion meminta pembelaan. Pedang berkeliaran di jalan-jalannya dan maut mengintai dalam setiap rumah. Kiranya musuh-musuh mereka yang bergembira itu berlalu, demikian permohonannya. Ratapan diakhiri dengan doa kepada Tuhan.

Perhatikan, dalam ratapan yang mendalam tetap kebenaran Tuhan-lah yang menjadi fokusnya. Perhatikan pengulangan kata TUHAN/Tuhan (Yehovah/Adonai) di ayat 12-19; bahwa Tuhan mengendalikan sejarah. “TUHANlah yang benar karena aku telah memberontak terhadap firman-Nya” (ayat 18), kebenaran Tuhan atas semua penderitaan yang Dia hadirkan. Tetapi, kasih setia-Nya tetap berlangsung (3:22-23). Walaupun semua berkat TUHAN sudah lenyap (Yerusalem kota Allah, Bait Allah, dsb), tetapi TUHAN tetap menjadi bagian umat-Nya (3:24). TUHAN bahkan sedang mengajarkan beberapa kebaikan kepada mereka (3:25-27).

Jadi, saat Saudara mengalami bencana, salah satu hal penting adalah mengungkapkan perasaan Saudara untuk meratap kepada Tuhan. Ingat, Yesus sendiri menangisi Yerusalem secara terbuka (Lukas 19:41). Dia mati di kayu salib dan bangkit, menghapuskan semua ratapan dosa anak-anak-Nya. Datang dan merataplah kepada-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd130721)

Selasa, 31 Desember 2024 "Tahun Baru: Hidup Baru Dengan Ketaatan Kepada-Nya" (Renungan Natal menyambut Tahun Baru 2025) Banyak...