Kesalehan adalah buah kehidupan orang beriman. Rasul Petrus menerangkannya kepada jemaah orang beriman yang saat itu mengalami penderitaan dan penganiayaan karena iman mereka. Menurut hukum Romawi saat itu, budak, anak-anak, dan istri harus tunduk kepada pria yang menjadi kepala keluarga (sebagai majikan, ayah, suami). Banyak diantara mereka adalah istri yang menjadi beriman kepada Yesus Kristus tetapi suaminya belum percaya. Bagaimana mereka seharusnya menyelaraskan ketaatan mereka kepada suami yang belum beriman dan Allah? Rasul Petrus menerangkan bahwa istri yang saleh menunjukkan dua karakteristik: ketundukan kepada suami dan kecantikan dari dalam. Dua hal ini sangat penting bagi si istri maupun suaminya. Ketundukan seperti apa yang diterangkan Rasul Petrus? Bacalah surat 1 Petrus 3:1-7.
Perhatikan ayat 1-2. Kesalehan dalam ketundukan. Rasul Petrus tidak menganjurkan pernikahan antara orang beriman dengan orang yang tidak beriman (lihat 2 Korintus 6:14); tetapi, suami-istri yang tidak beriman, lalu istrinya bertobat sedangkan suaminya tidak (lihat 1 Korintus 7:12-16). Rasul Petrus menasihatkan istri-istri yang sudah bertobat untuk tunduk dengan tujuan suami mereka menjadi beriman juga. Kata "tanpa perkataan" (aneu logou) dan kata "kelakuan" (anastrophē, lihat ayat 1:15; 2:12; 3:2, 16) menegaskan bahwa kesalehan mereka dalam perbuatan adalah sarana kesaksian hidup yang penting bagi suami yang belum beriman (lihat 2:12). Namun demikian, pemberitaan Injil juga penting untuk disampaikan (lihat 1 Petrus 3:15).
Jadi, Rasul Petrus menerangkan bahwa tunduk kepada suami yang belum beriman bukan semata-mata karena tuntutan kultural, bukan pula untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Ketundukan isteri bukan cuma di luar untuk pencitraan. Bukan sekadar menjaga reputasi isteri atau suami. Bukan sekadar menyenangkan pasangan. Bukan untuk menghindari pertengkaran belaka, apalagi memamerkan kebaikan isteri. Ketundukan ini dilakukan secara tulus karena Allah yang menjadi alasannya; kesalehan yang berdampak bagi pertobatan suaminya.
Perhatikan ayat 3-4. Kesalehan dalam kesederhanaan penampilan dan kecantikan yang dari dalam. Di berbagai terjemahan tertulis, "Jangan mementingkan kecantikan lahiriah yang bergantung pada perhiasan, pakaian indah serta dandanan rambut". Semua ini menunjuk pada tata rambut yang mahal dan rumit dan mode pakaian wanita di Yunani-Romawi abad pertama. Rasul Petrus tidak bermaksud secara mutlak melarang segala jenis dandanan, pakaian mahal, dan perhiasan; namun demikian tetap mengajarkan kesederhanaan. Rasul Petrus mengatakan "tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi", menyoroti perihal kecantikan dari dalam (inner beauty); bukan berarti hanya aspek batiniah saja yang dipentingkan (ayat 1-2, pentingnya kelakuan saleh yang bisa dilihat). Hati yang baik menghasilkan kelakuan yang baik pula. Hati yang diwarnai oleh kelembutan (praus) dan ketentraman/ketenangan (hēsychios) memampukan para isteri untuk tunduk kepada suaminya (lihat 1 Timotius 2:11). Kecantikan dari dalam tidak bisa binasa oleh waktu atau pemakaian (“yang tidak binasa”). Kecantikan ini sangat berharga di mata suami (sebagai sarana pertobatan, ayat 1-2) dan terutama “di mata Allah” (ayat 4).
Perhatikan ayat 5-6. Teladan dari masa lalu. Ketundukan istri yang sudah beriman kepada suaminya memang berat tetapi mereka tidak perlu berkecil hati. Sarah, istrinya Nabi Ibrahim dan para perempuan kudus lainnya dari dahulu memang sudah menjalankan hal tersebut. Saat itu, Nabi Ibrahim telah sangat tua dan belum menerima penggenapan janji tentang keturunan. Sarah memanggil Nabi Ibrahim sebagai "tuanku" (Kejadian 18:12). Di tengah situasi seburuk apapun, ketundukan Sarah tetap ada. Ketundukannya tidak ditentukan oleh keadaan tertentu. Ketundukan adalah suatu kebiasaan; kapan pun dan dalam situasi seperti apapun.
Perhatikan ayat 7. Rasul Petrus juga menerangkan bahwa suami pun memiliki tanggung jawab dalam hidup salehnya, “Tinggallah bersama istrimu menurut pengetahuan” (synoikountes kata gnōsin). Rasul Petrus memerintahkan para suami untuk selalu menggumulkan apa yang menjadi kehendak Allah dalam pernikahan mereka. Perlakuan mereka terhadap istri masing-masing harus sesuai dengan pengetahuan mereka tentang Allah. Tanggung-jawab kedua yang diemban suami adalah memberikan hormat kepada istri (ayat 7b). Para istri memang harus tunduk kepada suami, tetapi mereka juga layak mendapatkan penghormatan. Ketundukan istri kepada suami dan penghormatan suami kepada istri harus berjalan beriringan. Yang satu tidak meniadakan yang lain. Kata "hormat" (timē) berkaitan dengan sesuatu yang sangat mahal dan berharga. Memberikan hormat kepada istri berarti menganggap dia berharga. Bentuk yang labih praktis, memuji istri sebagai bagian kehidupan yang bernilai.
Dua tanggung-jawab di atas – hidup bersama menurut pengetahuan tentang Allah dan memberikan hormat kepada istri – bukanlah pilihan. Ini merupakan perintah ilahi. Jika dilanggar, ada konsekuensi yang mengikutinya. Keengganan suami untuk menunaikan tangung-jawab kepada istri merupakan kejahatan di mata Tuhan, sehingga Dia tidak akan menghiraukan permohonan suami (lihat ayat 12).
Nikmatilah kesalehan hidup dalam ketundukan dan kasih suami-istri. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd231021)