Tuesday, 27 July 2021



[Ratapan 3:31-33]
Senin, 26 Juli 2021

“Walaupun Dia mendatangkan kedukaan, Dia akan berbelaskasihan 
sesuai dengan kebaikan-Nya yang berlimpah-limpah”
(Renungan Kitab Ratapan 3:31-33)

Bagaimana mungkin, di tengah penderitaan dan kedukaan karena Pandemi Covid-19 saat ini, masih bisa bertahan dan berharap? Percaya bahwa Allah setia, hadir dan mengasihi umat-Nya; kenyataan inilah yang memampukan seseorang untuk bisa bertahan dan berharap di dalam penderitaannya. Bacalah kitab Ratapan 3:31-33.

Ditengah ratapan karena penderitaan yang mendalam, umat Allah di kitab Ratapan mengatakan:

“Sebab Tuhan (“Adonai: Allah yang perkasa”) tidak akan mencampakkannya selama-lamanya; karena walaupun Dia mendatangkan kedukaan, Dia akan berbelaskasihan sesuai dengan kebaikan-Nya yang berlimpah-limpah”  (ayat 31-32, versi ILT). 

1) Bahwa, walaupun dihajar, mereka tidak dibuang. Seorang ayah yang menghajar anaknya bukan berarti merampas hak warisnya.

2) Bahwa meskipun mereka mungkin tampak dibuang untuk sementara waktu, ketika penghiburan-penghiburan jasmani ditangguhkan dan keselamatan-keselamatan yang diinginkan ditunda, namun mereka tidak benar-benar dibuang, karena tidak untuk selama-lamanya mereka dikucilkan.

3) Bahwa, kesedihan apa pun yang tengah meliputi mereka, itu sudah ditetapkan Allah untuk mereka, dan tangan-Nya bekerja di dalamnya. Dialah yang menyebabkan kesedihan, dan karena itu mereka bisa yakin bahwa itu sudah diatur dengan bijak dan penuh rahmat. Dan hanya seketika, ketika diperlukan, mereka berdukacita (bacalah 1 Petrus 1:6).

4) Bahwa Allah menyediakan belas kasihan dan penghiburan bahkan bagi orang-orang yang telah dibuat-Nya berduka.

5) Bahwa, ketika Allah kembali untuk berlaku rahmat kepada mereka, itu bukan menurut jasa-jasa mereka, melainkan menurut kasih setia-Nya, menurut kebesaran, kelimpahan, kasih setia-Nya. Begitu tidak layaknya mereka sehingga tidak ada hal lain selain kasih setia yang melimpah yang akan menolong mereka. Jadi apa lagi yang tidak bisa mereka harapkan dari kasih setia yang seperti itu? Dan sekalipun Allah membuat mereka berduka, itu sama sekali tidak boleh mematahkan harapan-harapan mereka akan kasih setia-Nya.

“Sebab dari hati-Nya Dia tidak menyengsarakan atau mendukakan anak-anak manusia” (ayat 33).

Bahwa, apabila Allah betul-betul menyebabkan kesedihan, itu demi tujuan-tujuan yang bijak dan kudus, dan Allah tidak bersuka dalam melapetaka-malapetaka yang menimpa mereka. Ia memang menindas, dan merisaukan anak-anak manusia. Semua kerisauan dan penindasan mereka sebenarnya ada dalam kedaulatan-Nya. Ia tidak melakukannya dengan rela hati, tidak dari hati, demikian kata yang dipakai.

1) Allah tidak pernah menindas mereka kecuali memberi-Nya alasan untuk melakukannya. Jika Ia menuliskan hal-hal yang pahit melawan mereka, itu memang karena mereka layak mendapatkannya dan juga memerlukannya.

2) Allah tidak menindas dengan senang hati. Ia tidak bersuka dalam kematian orang-orang berdosa, atau kegelisahan orang-orang kudus, tetapi menghukum dengan enggan dan berat hati. Ia sama sekali tidak bersuka dalam segala penderitaan mereka sehingga Ia sendiri menderita, dan jiwa-Nya berduka atas kesengsaraan umat-Nya.

3) Allah mempertahankan kebaikan-Nya terhadap umat-Nya sekalipun Ia sedang menindas mereka. Jika Ia tidak dengan rela hati merisaukan anak-anak manusia, apalagi dengan anak-anak-Nya sendiri. Apa pun itu, Allah itu baik bagi mereka (bacalah Mazmur 73:1), dan mereka dengan iman dapat melihat kasih di dalam hati-Nya bahkan sekalipun mereka melihat kernyit di dahi-Nya dan cambuk di tangan-Nya.

Pandemi Covid-19 memang berat, tetapi lihatlah Allah dan ingatlah siapa Dia, Allah yang penuh belas kasihan kepada anak-anak-Nya. Allah tidak membuang umat-Nya dan melupakannya. Terkadang Dia harus menghukum atau mengoreksi Saudara, tetapi Dia tidak akan membuang Saudara sepenuhnya. Bahkan jika Saudara harus melalui beberapa rasa sakit karena Saudara telah membuat kesalahan, atau mengalami kesedihan karena sakit atau kehilangan; Allah akan menghibur Saudara. Allah tidak menikmati penghukuman-Nya sendiri, tetapi Dia merasakan sakit Saudara. Allah tidak bersukacita atas rasa sakit Saudara, seperti orang tua akan sedih jika Saudara menyakiti diri Saudara sendiri. Tuhan Yesus Kristus mengasihi Saudara. (erd260721)

Sunday, 25 July 2021



[Ratapan 3:25-27]
Sabtu, 24 Juli 2021

“Lihatlah dirimu dan kamu akan depresi. Lihatlah keadaan 
dan kamu akan tertekan. Lihatlah Allah dan kamu akan 
mendapatkan kekuatan serta harapan!
(Renungan Kitab Ratapan 3:25-27)

Dalam menghadapi Pandemi Covid-19 saat ini, lihatlah realita yang ada seperti bagaimana umat Allah di tengah pendertiaan yang sedang dialaminya. Bacalah kitab Ratapan 3:25-27.

Ingat, kitab Ratapan adalah puisi yang indah justru ketika mereka sedang menghadapi pendertiaan yang mendalam. Iman memungkinkan mereka untuk melihat keadaan mereka saat itu melalui realitas Allah dan karakter-Nya, dan ini memberi mereka harapan.

Ratapan 3:25-27 dalam struktur teks Ibrani semuanya dimulai dengan kata “baik”. Meskipun penderitaan tidak enak, tetapi ada beberapa kebaikan dalam penderitaan. 1) Allah baik kepada orang yang berharap kepada-Nya. 2) Adalah baik menanti pertolongan Allah dengan diam (sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan). 3) Adalah baik dihukum dan didisiplin Allah karena kasih-Nya, sekarang daripada nanti.

“ALLAH itu baik bagi orang yang menanti-nantikan Dia, bagi jiwa yang mencari hadirat-Nya” (ayat 25, versi SB2010)Apakah Saudara masih merasakan Allah baik dalam hidup Saudara? Apakah Saudara hanya menganggap Allah baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi Saudara? Ingat, Saudara alami atau tidak kebaikan Allah dalam hidup Saudara, Allah tetap baik. Saudara terima atau tidak, Allah tetap baik. Kebaikan Allah tidak pernah ditentukan pengalaman atau perasaan Saudara. Kebaikan Saudara tidak pernah di tentukan dari apa yang Saudara telah atau belum terima. Apapun itu, Allah tetap baik. Bacalah Injil Lukas 11:11-13.

“Baik jika seseorang menanti dengan tenang keselamatan dari ALLAH”  (ayat 26). Menantikan Allah bekerja dan berkarya dengan iman dan pengharapan. Menanti dengan penuh iman Allah berkarya memulihkan dan memberikan keselamatan. “Dalam pertobatan dan ketenangan kamu akan diselamatkan, dalam keheningan dan memercayakan diri akan ada kekuatanmu” (Kitab Yesaya 30:15b). Mengapa bisa tenang dan teduh dalam menghadapi Pandemi Covid-19 saat ini adalah karena iman.

“Adalah baik bagi seorang yang memikul kuk pada masa mudanya” (ayat 27). Adapun anak-anak dan remaja yang menderita, bahkan mereka bisa belajar dari pengalaman ini dan tumbuh menjadi pria dan wanita yang kuat (ayat 27). Nabi Yeremia dalam kitab Ratapan ini adalah seorang lelaki tua, tetapi dia menderita di masa mudanya, jadi dia tahu apa yang dibicarakan saat ini (lihat Yeremia 1: 8, 17-19; 15:10, 15-17). Pengalaman masa mudanya dalam berbagai penderitaan membantu mempersiapkannya untuk menghadapi penderitaannya saat ini.

Dalam penderitaan pandemi Covid-19 saat ini, Saudara senantiasa mendapatkan kekuatan baru karena pengharapan, komitmen, dan mengingat karakter Allah yang baik. Kebaikan Saudara tidak pernah di tentukan dari apa yang Saudara telah atau belum terima. Apapun itu, Allah tetap baik. Jadikanlah Allah sebagai yang terutama dalam hidup Saudara. Nantikanlah Allah dengan tenang dan iman. Tuhan Yesus Kristus memberkati. Soli Deo Gloria! (erd240721)

Friday, 23 July 2021

 


[Ratapan 3:20-24]
Jumat, 23 Juli 2021

Orang yang terlalu melihat masalah seringkali melupakan hal-hal 
yang indah tentang Allah sehingga ia merasa terus tertekan. 
Milikilah perspektif yang benar tantang Allah dan kasih-Nya. 
(Renungan Kitab Ratapan 3:20-24)

Pandemi Covid-19 sudah menimbulkan berbagai pergumulan, ketakutan, penderitaan, bahkan dukacita dan hilangnya harapan. Tidak ada yang bisa memastikan dengan tepat kapan pandemi ini akan berakhir dan bagaimana virusnya bisa dimatikan serta tidak membahayakan. Masih adakah alasan untuk menyongsong hari depan di tengah pergumulan pandemi Covid-19 saat ini? Renungkan Kitab Ratapan. Bacalah kitab Ratapan 3:20-24.

Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Entah berapa ribu orang yang sudah mati karena peperangan dan kelaparan saat itu. Mereka kehilangan kota Yerusalem, tanah perjanjian, dan bait Allah di dalamnya (1:1,4,6,10; 2:4-5,13). Sunyi senyap tanah perjanjian ditinggalkan oleh penduduknya yang diangkut ke pembuangan. Musnah sudah keindahan, kemegahan, dan kekokohan bait Allah.

Tetapi, dalam ratapan penderitaan tersebut, perhatikan puisi yang ketiga (Ratapan 3:1-66); salah satu teks terindah. Puisi yang terpanjang (3 baris x 22 bait/ayat) dan berada di bagian tengah kitab ini berbicara tentang keyakinan bahwa pengampunan dan kesetiaan Allah masih tersedia. Kasih-Nya yang memberi harapan. Penulis dan pembaca puisi menemukan cara pandang yang baru bahwa kesetiaan Allah dan keutamaan Allah dalam penderitaan merupakan alasan untuk berharap kepada Allah.

Perhatikan ayat 20,21. “Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku. Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap”. Awalnya teringat dan fokus pada masalah, tetapi kemudian mengambil pilihan yang tepat;  memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan Allah, bukan persoalannya. Kata kerja “kuperhatikan” dalam teks Ibrani mengandung arti “kukembalikan”, dan dikembalikannya pada “hati/pikiran”.  Beberapa terjemahan mengatakan “Aku memperhatikan/mengembalikan hal ini dalam hatiku; oleh karena itu, aku berharap”. “This I recall to my mind; therefore I have hope”. Hati yang dulu sangat dikuasai oleh persoalan diri dan kemalangan, sekarang diisi dengan kebenaran ilahi. Kebenaran yang sempat terlupakan, tetapi sekarang dikembalikan lagi ke hatinya. Dan sekarang, bukan hanya “akan berharap”, tetapi “memiliki pengharapan” (mayoritas versi: “I have hope”). Pengharapan ini bersifat pasti. Hal apa yang dikembalikan ke dalam hati? Cara pandang seperti apa yang membuat mampu berharap?

Perhatikan ayat 22,23. Kesetiaan Allah yang terus menerus. Ada tiga kata yang digunakan (“kasih setia, rahmat, dan kesetiaan”) yang merujuk pada kebaikan Allah walaupun aspek yang ditekankan berbeda-beda. Kata “kasih setia” (khesed­) biasanya digunakan untuk kesetiaan Allah atas perjanjian-Nya; kasih dalam konteks perjanjian. Kata “rahmat” (rahămîm) diidentikkan dengan belas kasihan atas orang berdosa atau orang yang menderita. Kata “kesetiaan” (ĕmûnâh) lebih mengarah pada kesetiaan atau keteguhan dalam melakukan sesuatu.

Kasih setia Allah menjamin bahwa perjanjian dengan umat-Nya akan terus ada. Rahmat-Nya memastikan bahwa umat Allah yang berdosa tetap mengalami kebaikan-Nya. Kesetiaan-Nya merupakan sauh yang kuat untuk menyandarkan hidup yang terus bergoncang. Meskipun mereka telah memberontak terhadap Allah, sehingga Allah menghukum mereka, tetapi Allah tetap setia terhadap janji-Nya. Tidak selama-lamanya Allah menghukum (bacalan ayat 31-33). Tentang hal ini, Rasul Paulus menulis, “Jika kita tidak setia, Allah tetap setia, karena Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya" (2 Timotius 2:13) 


“Tak berkesudahan kasih setia Tuhan” (ayat 22a), seringkali dipahami bahwa yang menjadi subyek dari kata kerja “tak berkesudahan” adalah kasih setianya Allah. Tetapi, tertulis subyeknya adalah orang pertama jamak (“kami”), sehingga teks terjemahan lain menulis “Karena kasih abadi ALLAH, kita tidak dihabiskan”. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya keadaan mereka bisa lebih buruk daripada yang dialami sekarang. Jadi, keadaan mereka yang sekarang bukanlah yang terburuk seperti yang mereka pikirkan. Ketika mengalami kecelakaan atau permasalahan, seringkali orang mengatakan “Masih untung tidak ini..., masih untung bisa ini..., masih untung ada ini...”

Sebenarnya, hal yang terburuk adalah Allah bisa memusnahkan mereka karena dosa mereka, tetapi Allah tidak melakukannya; itulah kenyataannya. Hal-hal yang positif seperti inilah yang perlu dikembalikan ke dalam hati/pikiran yang sedang mengalami pergumulan hidup; cara pandang yang benar tentang Allah dan kasih-Nya.

Perhatikan ayat 24. Keutamaan Allah. Ayat 24 menegaskan kembali ayat 21; sama-sama menegaskan tentang pengharapan. Keduanya sama-sama menyentuh bagian terdalam dalam diri manusia (ayat 21 “hati”; ayat 24 “jiwa”). Meskipun Yerusalem dan Bait Allah telah hancur, tetapi mereka masih memiliki “sesuatu” yang paling berharga, yaitu Allah sendiri. Mereka mungkin kehilangan harta benda, keluarga, kota, kebanggaan sebagai suatu bangsa, dan sebagainya, tetapi mereka tetap memiliki Tuhan sebagai Allah mereka. Bacalah Mazmur 73:25-26, Asaf mengakui bahwa Allah adalah bagian Asaf yang lebih berharga dari segala sesuatu.

 

"TUHAN adalah bagianku". Kata “bagian” (khēleq) di sini seringkali muncul dalam konteks pembagian tanah, harta, atau barang yang lain. Intinya, apa yang dibagikan merupakan milik seseorang sesuai dengan pembagian tersebut. Seseorang tidak perlu merisaukan bagian orang lain. Ia tidak perlu mengingini apa yang bukan menjadi miliknya. Orang lain mendapat bagian yang lain pula. Jadi melalui ungkapan ini, mereka sedang membedakan Allah dengan semua pemberian-Nya. Allah berbeda dengan berkat-berkat-Nya. Bagian terbaiknya adalah Allah sendiri, bukan pemberian-Nya (kesehatan, kekayaan, keberhasilan) yang mudah hilang. Ingat, pada saat menulis/membaca puisi ratapan ini, mereka memang tidak memiliki berkat Allah apapun. Tetapi masih ada bagian yang terbaik: Allah sendiri.


Saudara, menghadapi pandemi Covid-19 memang berat. Ada banyak pergumulan bahkan penderitaan dan kehilangan. Tetapi, milikilah cara pandang yang benar tentang Allah dan kasih-Nya; memfokuskan hati dan pikiran pada-Nya, bukan pada masalah. Mengutamakan Allah dan tetap bersyukur pada-Nya. Dimiliki dan memiliki Allah lebih dari segalanya. Allah setia, mengampuni dan mengasihi setiap anak-Nya. Bukan saja baru tiap pagi, bahkan juga besar kesetiaan-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd230721)

Wednesday, 21 July 2021



[Kejadian 22:1-19]
Rabu, 21 Juli 2021

“Allah menguji iman dan kesetiaan Saudara. Melalui kesulitan dan tantangan hidup, iman Saudara dihidupkan dan kesetiaan Saudara dimurnikan”

(Renungan Kitab Taurat, Kejadian 22:1-19)

Bagi sebagian orang, Pandemi Covid-19 saat ini sangat menekan hidup mereka. Pandemi Covid-19 menjadi cobaan yang sulit dihadapi. Apakah Saudara pernah mengalami situasi yang menekan hidup Saudara dan tidak bisa memahaminya serta berkata “mengapa semua ini harus terjadi menimpa diriku?”  Belajarlah dari kisah Nabi Ibrahim, bagaimana kesetiaannya kepada Allah teruji dalam ketaatannya. Bacalah Kitab Taurat, Kejadian 22:1-19. Allah menguji kesetiaan Ibrahim dengan memintanya untuk taat perintah-Nya, yaitu mengurbankan Ishak, anak yang dikasihinya, sebagai kurban bakaran untuk-Nya.

Sudah kurang lebih 40 tahun Ibrahim mengenal Allah dan hidup bersama-sama Allah, tidak pernah mengalami peristiwa yang mengejutkan seperti ini. Elohim (Allah Pencipta) berfirman: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu" (ayat 2). Kurban bakaran adalah istilah Ibrani "pemusnahan" yang berarti "pengurbanan yang habis terbakar."

Saudara, bagaimana reaksi emosional Saudara dalam posisi Ibrahim saat itu? Alkitab memang tidak menceritakan secara detail reaksi emosional Ibrahim. Ada beberapa hal yang bisa menggoncangkan pengenalan Ibrahim tentang Allah yang selama ini disembahnya.

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang mengingkari janji-Nya sendiri; bukan Allah yang setia pada janji-Nya? Bukankah sebelumnya Dia berjanji bahwa keturunan Ibrahim akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (Kejadian 12:2). Tetapi sekarang, Allah justru meminta Ibrahim untuk mengorbankan anak itu!

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang penuh cemburu, pembunuh sukacita; bukan Allah yang penuh kasih? Sara, istri Ibrahim yang sudah lanjut usia itu melahirkan seorang anak laki-laki; ada tawa sukacita kebahagiaan di rumah tendanya. Anak itu diberi nama Ishak yang artinya “tertawa”. Tetapi sekarang, Allah meminta anak itu! Apakah Allah-nya Ibrahim seperti dewa-dewa orang kafir yang menuntut pengorbanan darah manusia untuk menyenangkan hatinya?

Apakah Allah yang dikenal Ibrahim adalah Allah yang menuntut terlalu banyak, bukan Allah yang beranugerah? Bukankah sebelumnya seluruh hidup Ibrahim sudah diperhambakan kepada dan untuk Allah? Sejak 40 tahun silam, saat Ibrahim berusia 75 tahun; dia telah rela dan taat meninggalkan negerinya, rumah bapanya, sanak-saudaranya ke tempat yang ia tidak ketahui (Kejadian 12:1).

Sepanjang malam itu, Ibrahim bergumul “mengapa Allah.. mengapa aku harus melakukan hal yang menyakitkan ini.. mengapa Allah?”  Ibrahim sampai pada puncak serangkaian ujian imannya. Awalnya, dia diminta untuk meninggalkan masa lalunya (Kejadian 12). Sekarang, dia diminta untuk menyerahkan masa depannya (Kejadian 22).

Tetapi, keesokan harinya pagi-pagi benar Ibrahim sudah bangun, keluar dari kemahnya dan mempersiapkan diri, dan membawa Ishak ke tempat yang telah ditetapkan Allah untuk pengurbanan anaknya (ayat 3). Tiga hari perjalanan yang ditempuhnya, menjadi perjalanan yang berat (ayat 4). Bayangkan, sesekali ia melihat wajah Ishak, anak lelakinya itu. Ia menoleh, melihat rumah tendanya dan memikirkan Sara yang bersukacita. Tetapi Ibrahim taat meskipun belum menemukan jawaban atas pergumulan “mengapa Allah memerintahkannya?”. Bagaimana Ibrahim tetap melangkah mentaati Allah-nya?

Perhatikan ayat 5, “sesudah itu kami kembali kepadamu”. Tersirat bahwa Ibrahim memastikan bahwa dirinya dan Ishak akan kembali. Apakah ini hanya penghiburan kosong saja? Tetapi bacalah kitab Ibrani 11:17-19. Ribuan tahun setelah peristiwa tersebut, penulis kitab Ibrani menjelaskan tentang iman Ibrahim. Ibrahim percaya pada kemahakuasaan dan integritas Allah bahwa Allah itu baik dan dapat disandari. Iman tidak menuntut penjelasan dan tidak bergantung pada perasaan; Iman bertumpu pada Allah dan janji kesetiaan Allah.

Perhatikan ayat 7,8,14. Betapa gentarnya hati Ibrahim ketika mendengar Ishak bertanya, “tetapi di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?” Haruskah Ibrahim melakukan dengan tangannya sendiri? Bukankah Ibrahim bisa mengajak Ishak pulang dan mengatur hidup mereka sendiri? Tetapi Ibrahim tidak melakukannya dan menjawab pertanyaan anaknya dengan iman “Yehova Jireh! Allah yang menyediakan”. Meskipun mata Ibrahim tidak melihatnya, tetapi mata imannya melihat Allah menyediakan.

Perhatikan ayat 10-12. Sesudah itu Ibrahim mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Ibrahim, Ibrahim." Sahutnya: "Ya, Tuhan." (ayat 10,11). Bayangkan, dengan hati dan tangan yang masih gemetar, Ibrahim memutus tali pengikat Ishak, mencium peluk anak itu erat-erat. Ibrahim sadar ia telah memperoleh hidup Ishak kembali oleh karena anugerah Allah, sebagaimana Ishak hadir dalam kandungan Sarah juga oleh karena anugerah Allah. Pertolongan Allah hadir tepat pada waktunya, tidak pernah terlambat (bacalah Ibrani 4:16).

Yehova Jireh! Allah yang menyediakan apa yang dibutuhkan, seekor domba jantan sebagai korban bakaran ganti Ishak (ayat 13-14). Bayangkan situasinya, di atas gunung itu Ibrahim memegang pundak anaknya, menunjuk ke langit dan berkata “Allah menguji iman dan kesetiaan kita. Melalui kesulitan dan tantangan hidup, iman kita dihidupkan dan kesetiaan kita dimurnikan, sekalipun itu berarti harus mengorbankan sesuatu yang kita kasihi”

Perhatikan ayat 15-19. Dan karena ketaatan Ibrahim, Allah akan menggenapi janji-Nya, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku" (ayat 18). Sebenarnya, Allah tidak membiarkan iman Ibrahim berhenti bertumbuh dalam kebahagiaan hidup yang sudah dinikmatinya.

Saudara, sebenarnya Ishak merupakan bayangan Kristus yang akan dipersembahkan sebagai korban. Tetapi jika Allah terlihat tidak tega Ibrahim mempersembahkan anak yang dikasihinya, maka Allah Bapa nanti akan mempersembahkan Anaknya yg tunggal (bacalah Injil Yahya 3:16), satu-satunya pengorbanan yang akhirnya bisa dan sepenuhnya menghapus dosa dunia. Ketika berjumpa dengan Yesus, Yahya pembabtis berkata, "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yahya 1:29). 

Saudara, pandemi Covid-19 memang berat. Tetapi dengan iman, nikmatilah kesulitan dan tantangan hidup yang ada sebagai ujian yang memurnikan iman Saudara. Jehova Jireh. Allah tetap setia dengan janji-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd210721)

Tuesday, 20 July 2021

 


[Ratapan 3:1-66]
Senin, 19 Juli 2021
 

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya

rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!

(Renungan Kitab Ratapan 3:1-66)

Bagaimana ayat favorit banyak orang ini bisa relevan dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini? Tahukah Saudara bahwa ayat tersebut adalah bagian dari puisi ratapan yang sangat menyedihkan? Ratapan ini ditulis oleh saksi mata yang melihat kota Allah Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan, penduduknya sangat menderita kemudian diangkut ke negeri pembuangan. Kitab Ratapan ini dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Sampai sekarang orang-orang Yahudi bahkan membaca kitab ini di Tembok Ratapan minimal sekali dalam seminggu. Bagaimana mereka tetap bisa mengatakan, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN"? Bacalah Kitab Ratapan 3:1-66.

Kitab Ratapan terdiri dari 5 puisi (pasal) ratapan. Dua puisi pertama (pasal 1-2), masing-masing terdiri dari 22 bait dan ditulis secara akrostik mengikuti jumlah abjad Ibrani. Puisi pertama (1:1-22) berbicara tentang bencana yang hebat dan mendatangkan ratapan yang mendalam. Puisi kedua (2:1-22) berbicara tentang “Sang Penyebab”, meratap karena menyadari bahwa kedaulatan Allah dinyatakan bagi orang berdosa. Lalu apa yang tertulis dalam puisi selanjutnya?

Tetapi sekarang, puisi yang ketiga (3:1-66) ini berbicara tentang pemulihan. Puisi kitab Ratapan yang terpanjang (3 x 22 ayat) dan berada di bagian tengah kitab ini bersifat sangat pribadi, menggunakan kata ganti pribadi “aku”, berbicara tentang diri penulis atau pembaca sendiri. Tersirat bahwa puisi ketiga ini adalah puisi penting yang berbicara tentang keyakinan bahwa pengampunan dan kesetiaan Allah masih tersedia. Ada kalimat yang indah yang tertulis di sana, di tengah-tengah keseluruhan puisi tentang perasaan pribadinya.

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22-23). Penulis menyadari bahwa Allah bisa saja menghanguskan semua orang dalam kemarahan-Nya, tetapi Allah tidak melakukannya. Allah justru membuang mereka ke Babel, tetapi mereka masih hidup. Bangsa itu tidak dibasmi, mereka masih suatu bangsa. “Karena belas kasih-Mu, aku tidak binasa”. Binasa artinya hancur tak bersisa. Kemarahan Allah masih ada tetapi ia memuji belas kasih-Nya.

“Tak habis-habisnya rahmat-Nya”.  Penulis dan pembaca puisi senantiasa mengingat-ingat kebaikan Allah. Adalah rahmat (belas kasih) dan bukan hak karena sudah melakukan sesuatu, jika menikmati kebahagiaan. Segala sesuatu yang dimiliki dan dinikmati, bahkan kehidupannya, semuanya adalah rahmat (belas kasih) karena memang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan sesuatu apapun. Dan rahmat-Nya “selalu baru tiap pagi; besar Kesetiaan-Mu!”, puisi yang indah.

Dalam puisi ketiga kitab Ratapan, penulis dan pembaca puisi telah berhasil mengatasi dukacitanya dengan menyadari bahwa Allah belum membasmi habis semua orang. Dan dalam belas kasihan-Nya, Ia telah membuat sebagian dari mereka tetap hidup. Memang ada umat yang diangkut ke pembuangan, tetapi di sana ada umat seperti Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; orang-orang yang beriman dengan kesunguhan hati menyembah Allah. Yerusalem dan Bait Allah dihancurkan, tetapi tidak menutup peluang kesempatan untuk Daniel berdoa kepada Allah. Di tanah pembuangan, Daniel tetap mencari Allah dan berdoa. Ternyata tidak dibatasi oleh tempat dan lokasi tertentu, di tempat pembuangan pun Allah tetap berkenan untuk dijumpai. Bahwa rahmatnya selalu baru setiap pagi. Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Selanjutnya, apa yang mereka lakukan?

Bacalah ayat 25-29. Merendahkan diri, sabar. Mereka merendahkan diri di hadapan Allah dengan sabar... dan sabar.

Bacalah ayat 40-42. Bertobat. Mereka minta ampun untuk dosa pribadi dan bangsanya.

Bacalah ayat 55-57. Berseru kepada Allah. Orang yang terperosok ke dalam lubang yang sangat dalam biasanya depresi dan sangat sulit untuk berseru, tetapi penulis dan pembaca puisi berseru kepada Allah.

Dalam pergumulan berat karena pandemi Covid-19 saat ini, milikilah pengharapan, tetap kuat dan dengan iman mengatakan kepada diri sendiri bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan”. Datang pada-Nya dan berserulah. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd190721)

Thursday, 15 July 2021



[Ratapan 2:1-22] 
Kamis,  15 Juli 2021

“Apakah Saudara siap mengenal dan mengasihi Allah sebagaimana 
adanya Dia; Allah yang mendisiplin umat yang dikasihi-Nya?”
(Renungan Kitab Ratapan 2:1-22)

Ingat, Kitab Ratapan adalah salah satu kitab yang sangat menyedihkan, ditulis oleh saksi mata dengan tetesan air mata ketika melihat kota Allah Yerusalem dan Bait Allah hancur lebur. Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 587 SM oleh bangsa Babel maupun tahun 70 M oleh bangsa Romawi. Sampai sekarang orang-orang Yahudi bahkan membaca kitab ini di Tembok Ratapan minimal sekali dalam seminggu. Mengapa ratapan kepada Allah ini bisa terjadi? Bacalah Kitab Ratapan 2:1-22.

Pasal 2 (puisi kedua), ditulis dalam bentuk akrostik seperti pasal 1 (puisi pertama), dalam 22 bait (ayat) mengikuti jumlah abjad Ibrani. Bait pertama dimulai dengan huruf Ibrani Aleph. Bait kedua dimulai dengan huruf Ibrani berikutnya, Bet; dan seterusnya berurutan sampai bait ke-22 dimulai dengan huruf Ibrani terakhir Taw. Bukan sekedar supaya mudah diingat dan menggambarkan isi ratapan yang lengkap serta mendalam, tetapi juga memberikan kesan sebagai tulisan rasional yang teratur guna menemukan pesan teologis di dalamnya.

Jika puisi pertama ratapan tentang “bencana yang hebat”, puisi kedua berbicara tentang “Sang Penyebab”, tentang Allah. Dalam puisi kedua ini, semua kata ganti pribadinya adalah Dia (“He”). Puisi ini tentang Dia yang berdaulat, yang mendatangkan semua bencana itu. Allah yang melakukannya. Dia melakukannya karena dosa-dosa umat-Nya. Penulis puisi berbicara apa saja dalam ratapannya dan Allah menerimanya sebagai bagian dari Alkitab.

Bacalah ayat 1-5. “Ah, betapa Tuhan menyelubungi putri Sion dengan awan”. Kata”menyelubungi” dalam teks Ibrani hanya muncul di ayat ini, memberikan konotasi yang tidak menyenangkan dari sesuatu yang Allah lakukan terhadap Israel, kemarahan atas pemberontakannya. Allah Sion telah menjadi seteru bagi Sion (Yerusalem). TUHAN dengan murka-Nya telah menghancurkan Bait Suci, tumpuan kaki-Nya, keagungan Israel (bacalah 1 Tawarikh 28:2). Betapa mengenaskan.

Bacalah ayat 6-10. Allah melanda kemah-Nya,  yaitu Bait Suci-Nya dan pranata-pranata suci-Nya. Kemah Suci, tempat pertemuan, perayaan dan Sabat, raja dan imam, semua telah direndahkan dan dihancurkan secara kejam. Allah telah membuang mezbah-Nya, meninggalkan tempat kudus-Nya, menyerahkan tabut perjanjian ke tangan musuh, dan Dia mengizinkan sorak-sorai penaklukan bergema di dalam Rumah Allah seperti suara pesta pora.

Bacalah ayat 11-12. Gambaran nyata tentang kesengsaraan berkepanjangan: air mata terus bercucuran (bacalah Yeremia 9:1; 14:17), rasa simpati menyakitkan hati, hancur hati melihat bayi-bayi jatuh pingsan, anak-anak kecil menangis meminta makan dan minum dan yang lebih buruk lagi, bayi-bayi menghembuskan nafas terakhir di pangkuan ibu mereka.

Bacalah ayat 13-14. Orang yang menyaksikan penderitaan ini kehabisan ilustrasi atau obyek untuk membandingkan keadaan Sion yang hancur tersebut. Itu terlalu sulit untuk dipulihkan. Penglihatan palsu serta menggoda dari nabi-nabinya (bacalah Yeremia 14:14-16; 23:9-40) tidak dapat menunjukkan kepada bangsa itu dosa-dosanya sendiri, kalau tidak tentu ia diluputkan dari pembuangan. Di sini dinyatakan secara jelas mengenai penyebab moral dari kemalangannya.

Bacalah ayat 15-16. Sekalian orang yang lewat bertepuk tangan. Seteru-seteru Sion mengolok-olok kehancurannya. Tepuk tangan, gelengan kepala dan suitan menyertai ejekan yang diucapkan terhadap Yerusalem. Semua seteru menikmati kegembiraan, bersorak-sorak, bersuit dan menggertakkan gigi merayakan hari kehancuran Yerusalem. Ini merupakan ejekan yang tak terkendalikan.

Bacalah ayat 17-19. TUHAN telah menjalankan yang dirancang-Nya;  artinya bahwa yang dinubuatkan pasti dilakukan-Nya. Ketika pemberontakan terjadi, datanglah penghukuman. Biarlah Sion meratapi kesusahannya. Ia memberontak, dan ia telah membiarkan seteru-seterunya mengalahkan dirinya.

Bacalah ayat 20-22. Anak-anak menjadi korban perbuatan kanibal ibu mereka; imam-imam dibunuh di tempat kudus; pemuda dan orang tua terbaring di jalan-jalan tak dikuburkan; dara-dara dan teruna-teruna menjadi korban pedang. Dalam pembantaian tak berbelas kasihan siapa pun tidak dapat luput, dan obyek-obyek kasih sayang Sion menjadi sasaran pembantaian oleh musuh. Begitulah keadaan umat-Nya saat itu tatkala Tuhan murka. Apa yang harus dipahami tentang murka Allah dalam puisi ratapan ini?

Penulis puisi ratapan itu mengakui bahwa Allah murka karena Yerusalem sudah sangat berdosa (Ratapan 1:8) dan menghukumnya (Ratapan 2:2,8). Dalam puisi ini, kemarahan Allah disebutkan lima kali karena ada saatnya kemarahan Allah dinyatakan dengan tegas. Allah melaksanakan apa yang difirmankan-Nya kepada umat-Nya, sesuai maksud-Nya untuk menghukum umat yang berdosa (ayat 17).

Perhatikan lebih teliti ayat 17, “Tuhan telah menjalankan yang dirancangkan-Nya, ia melaksanakan yang difirmankan-Nya, yang diperintahkan-Nya dahulu kala”. Jika mereka menerima semua nasihat Allah melalui Yeremia, dalam kitab sebelumnya (lihat Yeremia 25-27), supaya mereka menyerah pada bangsa Babel dan tidak berusaha melawan mereka, kota Yerusalem itu pasti masih tetap berdiri. Hal inilah yang membuat penulis puisi sangat sedih dan meratap. Ia menghadapi kenyataan bahwa semua kesedihan di atas seharusnya tidak perlu terjadi, fakta bahwa sebenarnya semuanya dapat dihindari. Rasa frustasi akibat terbuangnya sebuah kesempatan yang Allah berikan. Sedih yang mendalam, karena umat memilih tidak taat dan akhirnya Allah harus melakukan penghukumannya.

Seperti ketika Saudara memasak mie instant dalam panci di atas kompor, dan Saudara lupa sampai tercium bau gosong. Saudara lari cepat angkat panci, tapi sudah hangus. Jika Saudara tetap berdiri di sana dan memperhatikannya, itu tidak akan terjadi karena Saudara melihatnya mendidih pelan-pelan dan kemudian mematikan kompornya. Seluruh penekanan di Alkitab tentang kemarahan  Allah adalah jika Saudara melihatnya mendidih pelan-pelan, Suadara dapat mencegahnya meluap, tetapi jika Saudara tidak memperhatikan Allah dengan seksama dan tidak melihatnya mendidih pelan-pelan, Saudara tak akan menyadari sampai kemarahan itu meluap-luap dan terjadilah bencana. Jangan tunggu kemarahan Allah.

Saudara, ketika Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya “siapakah Aku”, ada yang mengatakan Yesus sebagai Yeremia yang datang kembali (Matius 16:13-16). Seperti Yeremia datang memperingatkan tentang kehilangan Bait Allah, Yesus datang memperingatkan tentang kehilangan “Bait Allah” yang kedua. Yesus adalah Mesias, Sang Penebus, Gembala yang baik, yang sudah dinubuatkan oleh Nabi Yeremia. Apakah Saudara siap mengenal dan mengasihi Allah sebagaimana adanya Dia; Allah yang mendisiplin umat-Nya? Waspadalah terhadap perasaa Allah agar Saudara sadar saat kemarahan itu mendidih perlahan-lahan sehingga tidak sampai meluap. Pancinya jangan sampai hangus. Tuhan Yesus Kritus mengasihi, mengampuni, memberkati. (erd150721)

Wednesday, 14 July 2021



[Ratapan 1:1-22]
Selasa, 13 Juli 2021

 “Saat Saudara mengalami bencana, salah satu hal penting adalah mengungkapkan perasaan Saudara untuk meratap kepada Tuhan”.
(Renungan Kitab Ratapan 1:1-22)

Betapa hari-hari di bulan Juli 2021 saat ini hidup dipenuhi dengan ratapan, pergumulan dan dukacita karena pandemi Covid-19. Ratapan seperti ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, seperti ratapan yang tertulis di Alkitab, yang dibacakan di bulan Juli setiap tahunnya. Bacalah dan renungkan Kitab Ratapan. Renungkan bagaimana ratapan yang digambarkan di Kitab Ratapan pasal 1.

Kitab Ratapan dibacakan setiap tahun pada tanggal 9 bulan Ab (sekitar bulan Juli-Agustus), yaitu pada saat orang-orang Yahudi memperingati kehancuran Yerusalem dan bait Allah pada 587 SM oleh bangsa Babel maupun 70 M oleh bangsa Romawi. Sampai sekarang orang-orang Yahudi bahkan membaca kitab ini di Tembok Ratapan minimal sekali dalam seminggu.

Kitab Ratapan (bahasa Latin) disebut juga “air mata” (bahasa Yunani) atau “betapa” (kata pertama dalam gulungan teks Ibrani). Kitab bahasa Indonesia dimulai dengan kata “Ah”. Kitab ini adalah salah satu kitab yang menyedihkan, ditulis oleh saksi mata dengan tetesan air mata ketika melihat kota Allah Yerusalem dan Bait Allah hancur lebur. Bahkan digambarkan, para ibu memaksa makan bayi-bayi mereka, bahkan makan plasenta dari ibu yang melahirkan (Ratapan 2:20), mereka sungguh putus asa dan keadaannya sangat menyedihkan. Dalam konteks teokrasi (Allah sebagai pemimpin tertinggi), tidak mudah bagi penulis kitab untuk menyaksikan bagaimana negara teokrasi ini akhirnya justru musnah.

Menariknya, Kitab Ratapan ditulis dengan cara yang sangat unik, indah dan seksama berupa 5 puisi ratapan (5 pasal). Pasal 1, 2, 4, 5; masing-masing terdiri dari 22 bait (ayat). Pasal 3 terdiri dari 66 bait (22 x 3). 22 adalah jumlah abjad Ibrani yang dipakai sebagai bingkai untuk menulis puisi ini dalam bentuk akrostik. Misalnya, pasal 1 terdiri dari 22 bait, dan setiap bait terdiri dari 3 baris. Bait pertama, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani Aleph. Bait kedua, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani berikutnya, Bet; dan seterusnya berurutan sampai bait ke-22, setiap barisnya dimulai dengan huruf Ibrani terakhir Taw.

Bagaimana mungkin seorang yang sedang meratap dengan penuh kesedihan, yang tidak menghiraukan keteraturan maupun keindahan dari ratapannya, tetapi bisa menuliskan puisi akrostik yang seksama dan indah? Bukan sekedar supaya mudah diingat dan menggambarkan ratapan yang lengkap serta mendalam, tetapi juga memberikan kesan sebagai tulisan rasional yang teratur guna menemukan pesan teologis di dalamnya. Bagaimana ratapan yang mendalam dan menyeluruh ini digambarkan?

Bacalah ayat 1-3. Kota Yerusalem seperti seorang janda yang meratap sangat dalam. Yerusalem kota Allah dan Bait Suci telah hancur lebur. Rajanya yang tadinya, atau yang seharusnya, adalah suaminya, menceraikannya dan pergi. Seorang janda dan budak yang ditinggalkan semua orang. Kota yang tadinya berkuasa sekarang ditundukkan. Kota yang tadinya penuh dengan kegembiraan sekarang menjadi murung dan penuh dengan kesedihan dalam segala hal. Mereka yang tadinya bangsa yang dikhususkan, sekarang menjadi bangsa yang bercampur dan tidak mendapat ketentraman. Siapa yang menyangka bisa sampai seperti ini! Ratapannya semakin mendalam ketika mengingat bahwa Tuhan sebelumnya sudah berjanji akan memelihara Yerusalem (bacalah 2 Samuel 7:10-16; Yesaya 37:30-35).

Bacalah ayat 4-7. ­Lenyaplah dari putri Sion segala kemuliaannya. Jalan-jalannya diliputi duka, perayaan-perayaannya ditinggalkan pengunjung, pintu-pintu gerbangnya (tempat-tempat persidangannya) sunyi senyap, imam-imamnya mengeluh, dara-daranya bersedih, dan ia sendiri pilu hatinya. Hukuman ilahi atas dosa-dosanya membuat dia jatuh ke tangan lawan-lawannya, dan mereka menawan anak-anaknya ke pembuangan. Para pemimpinnya bagaikan rusa tanpa padang rumput, mereka tidak dapat lari dari pengejarnya (lihat Yeremia 39:4-7). Terkenanglah Yerusalem. Kenangan tentang hari-hari bahagia hanya menambah kesedihan Sion, terutama ketika ia diejek oleh orang-orang yang menontonnya dengan sukacita.

Bacalah ayat 8-11.  Yerusalem sangat berdosa. Dosa tidak pernah mendatangkan kebahagiaan yang sempurna. Yerusalem yang dihina dan dinajiskan oleh orang-orang yang dahulu menghormatinya, memalingkan muka dengan malu atas ketelanjangannya; karena penyelewengan dan kelalaian telah mendatangkan akibat-akibat menyedihkan. Orang-orang yang tidak mengenal Tuhan telah menjarah perkakas-perkakas Bait Suci, dan bangsa yang cemar telah menyerbu masuk tempat kudus yang menurut ketetapan Yahweh terlarang. Dengan mengerang karena butuh makanan, mereka menukarkan barang-barang berharga dengan roti demi menyambung hidup (perhatikan ayat 9 dan 11).

Bacalah ayat 12-16. Malapetaka yang diberikan Allah adalah keras, tetapi pantas diterima, sebagaimana pengakuan sang peratap. Dari atas dikirim-Nya api masuk ke dalam tulang-tulangnya. Putri Yehuda menceritakan penderitaan yang dialaminya di tangan Tuhan - demam pada tulang-tulangnya, jaring di kakinya, kecewa dan tidak berdaya sepanjang hari. Allah telah menjalin dosa-dosa putri Sion menjadi kuk penindasan dan perbudakan. Darah teruna-teruna Sion diumpamakan sebagai anggur yang diperas di tempat pengirikan untuk perayaan musuh-musuh Yehuda. Karenanya Yehuda menangis, tanpa ada yang dapat menghibur dan tanpa ada yang dapat memulihkan, sebab anak-anak mereka binasa sementara musuh-musuh mereka berjaya.

Bacalah ayat 17-19. “Kekasih-kekasihku… memperdayakan aku”. Sion mengulurkan tangan meminta tolong, tetapi tidak ada yang mengacuhkan, karena perintah yang adil dari TUHAN menjadikan para kekasihnya musuh. Tetangga-tetangga Yakub, yang kini menjadi lawan, memperlakukan Yerusalem sebagai sesuatu yang najis. Sion menerima balasan atas pemberontakannya. Para imam dan para tua-tua mereka yang berjuang memenuhi kebutuhan pokok mereka telah mati kelaparan; dan teruna-teruna muda dan dara-daranya menjadi tawanan.

Bacalah ayat 20-22. “Ya, TUHAN, lihatlah, betapa besar ketakutanku… tiada penghibur bagiku”. Sion meminta pembelaan. Pedang berkeliaran di jalan-jalannya dan maut mengintai dalam setiap rumah. Kiranya musuh-musuh mereka yang bergembira itu berlalu, demikian permohonannya. Ratapan diakhiri dengan doa kepada Tuhan.

Perhatikan, dalam ratapan yang mendalam tetap kebenaran Tuhan-lah yang menjadi fokusnya. Perhatikan pengulangan kata TUHAN/Tuhan (Yehovah/Adonai) di ayat 12-19; bahwa Tuhan mengendalikan sejarah. “TUHANlah yang benar karena aku telah memberontak terhadap firman-Nya” (ayat 18), kebenaran Tuhan atas semua penderitaan yang Dia hadirkan. Tetapi, kasih setia-Nya tetap berlangsung (3:22-23). Walaupun semua berkat TUHAN sudah lenyap (Yerusalem kota Allah, Bait Allah, dsb), tetapi TUHAN tetap menjadi bagian umat-Nya (3:24). TUHAN bahkan sedang mengajarkan beberapa kebaikan kepada mereka (3:25-27).

Jadi, saat Saudara mengalami bencana, salah satu hal penting adalah mengungkapkan perasaan Saudara untuk meratap kepada Tuhan. Ingat, Yesus sendiri menangisi Yerusalem secara terbuka (Lukas 19:41). Dia mati di kayu salib dan bangkit, menghapuskan semua ratapan dosa anak-anak-Nya. Datang dan merataplah kepada-Nya. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd130721)

Sunday, 11 July 2021



[1 Raja-raja 19]
Minggu, 11 Juli 2021.

“Protokol Ketangguhan dalam Masa Krisis; 
pelajaran dari kehidupan Nabi Elia”.
(Renungan Kitab 1 Raja-raja 19)

Dalam kitab 1 Raja-raja 19, diceritakan Nabi Elia sedang dalam keadaan stres; padahal baru saja memperoleh kemenangan rohani yang besar di gunung Karmel (1 Raja-raja 18:20-46). Ia merasa sangat kelelahan luar biasa. Orang yang memiliki keberanian dan iman yang hebat itu, sekarang ketakutan luar biasa. Elia lari sekitar 120 km ke Betsyeba, ke padang gurun dan di bawah pohon arar berdoa, “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku” (ayat 1-3). Bagaimana Tuhan menolong Elia menjadi semakin tangguh pada saat dia mengalami stres?

Perhatikan ayat 4. Istirahat dan retreat. Elia melakukan retreat dengan pergi sendirian ke dalam keheningan padang gurun, pelayanannya pun ia tinggalkan. Di dalam keheningan, ia berbicara kepada Tuhan dan beristirahat. Saat pandemi Covid-19 sekarang ini, nikmatilah retreat mendekatkan diri dan berbicara kepada Tuhan.

Perhatikan ayat 5a. Tidur. Setelah Elia berkata pada Tuhan bahwa sudah cukup dan dia ingin mati, kemudian berbaringlah dia dan tertidur. Sepertinya ia tertidur dengan cepat di tempat yang tenang ini. Kemudian ia bangun dan tertidur lagi. Tidurlah yang cukup, jangan kelelahan.

Perhatikan ayat 5b,7. Sentuhan. Malaikat menyentuh Elia sampai dua kali. Sentuhan malaikat meyakinkan Elia bahwa ia tidak sendirian karena masih ada orang lain yang peduli. Yesus juga menyentuh orang-orang, atau mengizinkan mereka menyentuh-Nya, termasuk mereka yang tidak bisa disentuh atau tidak tahir (Matius 9:20; Lukas 7:37-38; 8:54).Kehadiran dan sentuhan Sahabat menenangkan. Membelai anjing peliharaan atau bunga-bunga di taman menimbulkan kenyamanan.

Perhatikan ayat 5-7. Makanan yang baik. Malaikat memberikan Elia roti dan air. Beberapa waktu sebelumnya, Elia diberi makan oleh burung gagak (1 Raja-raja 17:6). Walaupun orang Yahudi menganggap gagak adalah burung yang tidak tahir. Dan sekarang, Tuhan mengirimkan malaikat untuk membuatkan roti bakar bagi Elia saat ia tidur; roti yang masih hangat. Elia menghirup aroma roti hangat itu, ia makan, dan ia minum lagi untuk memperoleh kekuatan bagi perjalanan selanjutnya.

Perhatikan ayat 8. Olahraga. Bagian Alkitab ini menjelaskan bahwa Elia berjalan 40 hari dan 40 malam ke gunung Tuhan, yakni gunung Horeb. Perjalanan itu menempuh jarak sekitar 320 kilometer, jadi sekitar delapan kilometer per hari. Elia berjalan dengan lebih santai sehingga menghabiskan waktu lebih banyak. Jangka waktu itulah yang mungkin membantunya untuk mulai pulih dari keadaan depresinya. Pada hari-hari terakhir kehidupannya di bumi ia berjalan dari Gilgal ke Betel ke Yerikho dan menyeberang sungai Yordan (2 Raja-raja 2:1-8). Perjalanan itu menempuh paling sedikit 64 kilometer, lumayan bagi yang sudah tua, meskipun kebanyakan adalah jalan menurun.

Perhatikan ayat 9-14. Menceritakan kisahnya. Tuhan bertanya kepada Elia, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (ayat 9). Dan Elia menceritakan kisahnya. Empat ayat kemudian, Tuhan bertanya lagi, “Apa kerjamu di sini, hai Elia?” (ayat 14). Dan Elia menceritakan kembali kisahnya untuk kedua kalinya, menggunakan kata-kata yang sama persis dengan yang sebelumnya. Tuhan tentu tidak lupa atau mengabaikan saat Elia pertama kali bercerita. Tuhan tahu bahwa baik bagi Elia untuk menceritakan kisahnya lebih dari sekali. Bercerita tentang Tuhan dan kasih-Nya, menyegarkan hati dari perasaan terisolasi dan bersalah serta mengantarkan pada pemulihan.

Perhatikan ayat 10,14. Dukungan. Elia berkata kepada Tuhan, “Hanya aku seorang dirilah yang masih hidup”. Elia merasa terisolasi serta menjadi satu-satunya yang tersisa di seluruh Israel dan berpikir akan segera dibunuh sehingga pelayanannya (dan kehidupannya) selama ini adalah membuang-buang waktu. Dan Tuhan memberikan respons dengan mengatakan kepada Elia untuk mendelegasikan tugasnya, bahwa Elisa akan meneruskan pekerjaannya. Tuhan mendukung Saudara; bertolong-tolonglah menanggung beban (Galatia 6:2).

Perhatikan ayat 8, 12-18. Suara kecil lembut: suara dalam keheningan. Elia pergi ke gunung Horeb yang adalah tempat suci, dikenal sebagai “gunung Allah” (ayat 8).  Di sinilah Tuhan telah menampakkan diri kepada Musa dalam semak yang terbakar (Keluaran 3:1-2), memukul batu dan air keluar (Keluaran 17:6), muncul api yang menghanguskan di puncak gunung itu (Keluaran 24:17). Tetapi tidak seperti yang dipikirkan dan diinginkan Elia, sekarang Tuhan tidak ada di dalam angin, gempa bumi, atau api; tetapi Tuhan datang dalam bisikan, suara yang lembut, atau suara keheningan. Hal ini penting dalam membangun ketangguhan dalam diri Elia.

Perhatikan ayat 19-21. Ditugaskan kembali. Tuhan memberikan tugas yang baru kepada Elia, yaitu memuridkan dan mengurapi Elisa. Hal ini menjadi awal yang baru baginya, yang sebelumnya merasa telah gagal. Ditugaskan kembali  dapat meningkatkan semangat Elia, karena ternyata masih ada yang harus dikerjakan, memuridkan orang lain untuk melanjutkan pelayanannya.

Saudara, dalam pandemi Covid-19 saat ini, banyak orang menjadi stres. Jika Saudara mengalaminya, ingatlah kisah Nabi Elia dan menjadi tangguh kembali. Dengarkan suara Tuhan yang lembut, yang hadir bersama Saudara, yang memimpin Saudara untuk langkah hidup selanjutnya. Selamat hari Minggu, hari kebangkitan. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd110721)


Saturday, 10 July 2021



[Mazmur 13]
Jumat, 9 Juli 2021.

Ketika malas dan sulit berdoa kepada Tuhan, justru saat itulah 
Saudara harus berdoa. Yakin bukan karena siapa Saudara 
tetapi karena siapa Tuhan yang Saudara sembah.
(Renungan Mazmur 13)

Dalam pergumulan menghadapi pandemi Covid-19 saat ini, pernahkah Saudara merasa seolah-olah Tuhan tidak mendengar dan menjawab doa-doa Saudara? Belajarlah dari mazmur ratapan. Bacalah Mazmur 13.

Perhatikan ayat 1-3. “Berapa lama lagi” diucapkan sampai empat kali dalam dua kalimat mazmur ini. Daud mengeluh, seolah-olah Tuhan tidak mendengar dan mempedulikan dirinya. Tetapi perhatikan, Daud tetap mengarahkan keluhannya langsung kepada Tuhan, dengan keyakinan bahwa keluhannya berarti bagi Tuhan. Tetapi bukan saja mengeluh, Daud juga berdoa mengajukan permohonan kepada Tuhan. Bagaimana permohonan doa Daud?

Perhatikan ayat 4-5. Permohonan doa Daud disampaikan kepada Tuhan dalam bahasa perintah, menunjukkan keseriusan permohonannya. Kata “supaya jangan” diucapkan dua kali dan tersirat satu kali. Hal ini menunjukkan bahwa Daud memberikan alasan mengapa Tuhan seharusnya menjawab doanya. Perhatikan, ada tiga alasan dalam doa.

Alasan pertama, berkaitan dengan karakter dan janji Tuhan Sekarang, Daud tidak hanya memanggil “ya Tuhan (Jehovah)” tetapi juga “Allah-ku (Elohim)”. Selain menggambarkan relasi yang dekat, panggilan ini juga dikaitkan dengan kehadiran (immanensi) Tuhan sebagai Allah perjanjian dan dikaitkan dengan kebesaran (transendensi) Tuhan. Doa dilandaskan atas pemahaman tentang sifat dan karakter Tuhan yang kasih dan adil (baca Kejadian 18:24-25; Keluaran 32:13).

Alasan kedua, berkaitan dengan keadaan umat Tuhan. Keadaan umat Tuhan dibawah ancaman hukuman karena membuat patung anak lembu emas, mendorong Musa berdoa kepada Tuhan (bacalah doanya di Keluaran 32:11). Keadaan umat Tuhan yang tertindas di tanah mereka sendiri, mendorong Nemehia berdoa bago bangsanya kepada Tuhan (bacalah doanya di Nehemia 9:36).

Alasan ketiga, apa kata dunia tentang Tuhan dan umat-Nya? Doa diarahkan pada reputasi dan kemuliaan Tuhan sendiri., bukan pada diri sendiri. Musa memohonkan keselamatan bagi bangsa Israel dengan berkata tentang Tuhan, “Mengapakah orang Mesir akan berkata: Dia membawa mereka keluar dengan maksud menimpakan malapetaka kepada mereka dan membunuh mereka di gunung dan membinasakannya dari muka bumi?”  (Keluaran 32:12).

Memang Tuhan tidak membutuhkan alasan Saudara, tetapi Saudara perlu memberikan alasan dalam doa supaya Saudara mengerti apa yang Saudara doakan. Hal ini akan menolong Saudara berdoa dengan motivasi yang lebih baik.

Perhatikan 3 permintaan Daud dalam doanya. Ada serangkaian tiga imperative (permohonan): pandanglah, jawablah, cerahkanlah. Pertama, "Pandanglah aku," permohonan agar Tuhan memusatkan perhatian pada hamba-Nya dan memeriksa dia. Daud merasa bahwa Tuhan telah menyembunyikan wajah-Nya, dan dia ingin Dia memalingkan wajah-Nya lagi. Kedua, supaya Tuhan menjawabnya dan mengirimkan semacam dorongan. Daud merasa bahwa dia telah ditinggalkan dan doanya tidak menghasilkan apa-apa. Ketiga, "Buatlah mataku bercahaya." Daud meminta kebijaksaan Tuhan untuk dapat melihat pergumulan yang dihadapinya dengan lebih baik dan benar. Kekuatan iman sangat penting bagi Daud.

Perhatikan ayat 6. Kata “goyah” di ayat 5 menggambarkan goncangan bak gempa bumi atau tsunami yang membongkar hancurkan segala sesuatu sampai ke dasarnya. Namun justru dalam kegoncangan dahsyat seperti itu, iman Daud bangkit dan mengakhiri mazmurnya dengan mengatakan “Ia telah berbuat baik kepadaku". Keadaan Daud belum berubah, tetapi Tuhan telah mengubahkan dia, dan itu terjadi ketika Daud berhenti memandang masalah hidupnya dan dengan iman mulai mencari Tuhan. Kepastian iman bukan lahir dari kekuatan mental ataupun berpikir positif, melainkan anugerah dari Tuhan sendiri yang kasih setia-Nya (hesed) tidak pernah berakhir dalam menjawab umat-Nya. Bukan iman Daud yang hebat tetapi obyek iman Daud yang hebat.

Saat putus asa melanda hidup Saudara karena merasa Tuhan tidak kunjung menjawab, saat itulah Saudara perlu berseru seperti Daud. Merataplah dan berdoalah kapada Tuhan. Dia setia menanti Saudara mengekspresikan emosi dan keluhan Saudara kepada-Nya; dan penuh kasih karunia menjawab doa Saudara. Tuhan Yesus Kristus memberkati. (erd090721)

Selasa, 31 Desember 2024 "Tahun Baru: Hidup Baru Dengan Ketaatan Kepada-Nya" (Renungan Natal menyambut Tahun Baru 2025) Banyak...